Thursday, May 14, 2015

Kamu Tahu Sia-sia? (Cerpen)

Pernahkah kamu merasa gugup setengah mati hingga lututmu terasa lemas dan rasanya kamu tidak sanggup berdiri?

Jika kau tanya aku, aku sedang merasakannya sekarang. Di depan pintu rumah nomor 48, aku mematung. Jantungku berdegup tidak karuan. Telapak tanganku terasa dingin dan basah. Hatiku ragu, namun aku tahu aku harus melakukannya.

Sial, aku tidak tahu 'nembak' perempuan ternyata sebegini sulitnya.

Oke, oke. Aku tahu kalian semua masih menerka apa yang sedang kulakukan, jadi biar kujelaskan. Namaku Diyan Pratomo, 28 Tahun. Bekerja sebagai salah satu pegawai di perusahaan multinasional papan atas. Bisa dibilang aku laki-laki mapan dan berkecukupan. Sayangnya, aku belum punya pasangan hidup yang bisa digandeng menuju pernikahan, lantaran selama ini aku sibuk bekerja hingga tahu-tahu umurku sudah hampir kepala 3. Aku awalnya masih belum tertarik amat dengan yang namanya pacaran, mengingat disekitarku tidak ada perempuan yang kuanggap pas denganku.

Namun semua itu berubah saat di suatu pagi, hari ini setahun yang lalu, aku jatuh cinta pada seseorang.

Saat itu pukul 6 pagi. Aku sedang membalas beberapa email kantor yang belum sempat aku lihat saat tiba-tiba aku mendengar suara perempuan menyanyikan lagu The Scientist nya Coldplay yang, demi Tuhan, sangat amat indah. Suara itu datang dari halaman sebelah rumahku. Aku, yang terpesona setengah mati, langsung buru-buru berlari kearah jendela dan mendapati seorang gadis di halaman sebelah sedang menyiram pekarangan rumahnya.

Aku tahu saat itu aku langsung jatuh cinta. Apalagi ternyata selain punya suara bagus, Ia juga cantik dan cinta tanaman. (Alasan terakhir paling tidak masuk akal tapi yasudahlah. Namanya juga orang jatuh cinta, semua mendadak benar.)

Kejadian ngintip-saat-dia-siram-tanaman bukan saja terjadi sekali dua kali, ini mendadak jadi rutinitas tiap pagi. Kamu tahu, aku rela bangun jam 5 pagi hanya untuk siap-siap mendengar 'konser' paginya. Padahal sebelumnya, mana pernah aku mau bangun sebegitu awal.

Sebagai seorang laki-laki yang buta arah dan mesti dituntun dalam masalah percintaan, aku pun konsultasi dengan sahabatku yang juga merupakan 'duo intel favorit' di kalangan teman-teman kantorku, yaitu Adit dan Jepri. Melalui Adit dan Jepri serta keahlian mereka menginvestigasi sesuatu, aku tahu siapa nama gadis itu. Namanya Jana. Ia baru beberapa minggu lalu pindah kesebelah rumahku. Ia kerja sebagai salah satu editor di sebuah kantor penerbitan buku. Ia dikenal cakap dan mampu bersosialisasi. Sialnya, walaupun pandai bersosialisasi, tidak banyak orang yang tahu kehidupan pribadinya. Dan Adit Jepri tidak bisa mengorek lebih dalam karena katanya link yang mereka punya bukan link kuat, jadi tidak bisa dapat info lebih banyak.

Terimakasih lagi kepada Adit dan Jepri, 2 orang itu memberiku saran dan usul tentang apa yang harus kulakukan untuk mendekatinya dibanding hanya mengaguminya dari jauh.

Pertama, aku harus coba menanam beberapa tanaman, lalu pura-pura menyiram di pagi hari agar dia melihat dan kita saling kenal.
Aku sudah mencoba teknik ini. Sayangnya, belum sampai seminggu, tanamanku sudah mati duluan.

Kedua, beli cd album band-band yang dia suka lalu lempar ke halaman rumahnya.
Aku tidak mencoba cara ini. Bukannya tidak mau, tapi cd album harganya mahal, dan dia tidak hanya menyanyikan lagu dari satu band atau penyanyi tertentu. Jadi aku harus lempar berapa cd album???? Dan lagipula, siapa juga yang PDKT dengan cara lempar cd album ke halaman rumah orang?

Dan cara ketiga (aku bersumpah ini cara paling meyakinkan dari semua yang Adit dan Jepri usulkan), aku harus datang kerumahnya dan memberi dia semacam makanan sebagai bentuk silaturahim antar tetangga.
Untungnya saat itu aku bernasib mujur. Ia mau menerima makanan dariku. Dan oh, sial. Dia benar-benar tampak cantik dari dekat. Sudahlah cantik, Ia juga baik dan sangat anggun.
Makin jatuh hati, kan.

Semenjak memberikannya makanan, bisa dibilang aku cukup kenal dengannya. Pernah sekali aku keluar rumah dan menyapanya saat Ia sedang menyiram tanaman. Aku basa-basi tanya ini itu tentang bunga mawar karena Ia punya berpot-pot tanaman mawar. Ia menjawab semua pertanyaanku dengan sorot mata hangat yang begitu menyilaukan. Arrghh sial, kenapa cantik banget sih?!

Masih banyak lagi pembicaraan yang terjadi antara aku dan Jana di pagi hari saat Ia menyiram. Dan tanpa sadar aku sudah melewati 1 tahun semenjak pertama aku melihatnya.

Dan di hari ini, aku siap menyatakan perasaanku.

Aku menekan bel rumah nomor 48 dengan perasaan tidak karuan. Doaku tidak putus-putusnya kupanjatkan pada Yang Maha Kuasa untuk melancarkan prosesi tembak menembak ini. Ya Tuhan, apakah akan berhasil?

Pintu rumah itu terbuka. Jana keluar dan tersenyum saat melihatku.
Ya Tuhan, lancarkanlah.

"Pagi, Jana."
"Pagi juga Mas Diyan."

Sial. Mendengarnya memanggilku Mas Diyan, jantungku mau copot dan lalu lari-lari keliling lapangan komplek saking senangnya.

"Ada apa pagi-pagi sampai kesini?"

Aku mengambil napas. Ayo Diyan, kamu pasti bisa.

"Gini, Jana. Saya tahu ini agak aneh dan mungkin terlalu mendadak, tapi saya suka sama kamu."

Wajah Jana yang tadinya tersenyum manis berubah jadi kaget dan serius. Aku melanjutkan ungkapan cintaku lagi. Kali ini aku berusaha lebih manis, tapi entah kenapa Jana bukannya terlihat senang, Ia malah melihatku kasihan.

"Mas Diyan, aku senang mendengar perasaan Mas Diyan...."

Pembicaraan kami terhenti karena bunyi deru mesin mobil terdengar dari pagar depan rumah Jana. 
Dari mobil itu seorang laki-laki dengan koper besar dan setelan jas turun dan berjalan ke arahku dan Jana.

"Wah, ada tamu ya rupanya?" Kata laki-laki itu sambil tersenyum. Ia menyalamiku dan lalu permisi masuk ke dalam rumah.

Oke, aku ingin bertanya siapa laki-laki itu, tapi pertanyaan tentang apakah pernyataan cintaku diterima atau tidak sepertinya terdengar lebih penting. Lagipula bisa saja laki-laki itu kakaknya.

"Jadi gimana, Jana?"

"Aku senang mendengar perasaan Mas Diyan, tapi...saya sudah 2 tahun menikah dengan laki-laki barusan. Ia baru pulang dinas luar kota...."

Oh, sial.

Dari semua kata sial yang ku sebut dalam ceritaku kali ini, aku yakin bagian tersial yang paling cocok menyanding kata sial adalah bagian ini.
Sial

Friday, April 10, 2015

Kopi Darat (Cerpen)

Aku berlari menuju ke pintu kamar sambil melepas kaus kaki dan tas ranselku. dengan terburu-buru, aku menuju ke depan layar komputer. "Bandxd, im coming!"

Hai, namaku Jia, Jiadinda Gladhi. masih kelas 1 SMA, dan sangat amat pengin punya pacar. kalian boleh salahkan teman dekatku, Sarah, karena sudah membuat ini terjadi padaku. Sarah enak-enakan pacaran sama Tony di depanku padahal tahu aku itu single, atau bahasa kasarnya, jomblo. sudah banyak banget orang yang aku liat di dunia ini, dan rata-rata orang-orang tersebut udah punya pacar. dan aku gak mau single selamanya. aku sudah bertekad, di SMA ini, aku harus punya pacar.

tapi masalahnya.......

aku kacau banget dalam urusan berhubungan sama cowok dalam urusan cinta-cintaan. 

oookkkkaaaayy just, dont judge me. aku cuma agak sedikit tertutup sama cowok. aku cuma bisa dekat dengan beberapa cowok yang udah aku kenal dari dulu atau cowok yang emang bikin aku nyaman. dan karena tahu aku punya masalah ini, aku pun berusaha untuk menyelesaikannya dengan nyari kenalan di internet. lebih tepatnya, nyari kenalan cowok di sebuah chat room bernama chatlion yang memperbolehkan para anggotanya untuk bicara via text dengan stranger, dan kita gak tau sama sekali siapa lawan bicara kita di kehidupan nyata kecuali kalau mereka sendiri yang bilang. sounds cool, right? bisa aja selama ini ternyata aku chat sama hottie. who knows????

aku udah kenalan sama banyak banget - like literally BANYAK BANGET - orang lewat chatlion, tapi menurutku orang yang paling asik itu cuma satu, yaitu orang dibalik user bandxd. kita udah mulai chat dari 5 bulan yang lalu, ngobrol-ngobrol tiap hari, terus ternyata kami nemuin banyak kesamaan, yaitu sama-sama suka musik, bands, makanan, hobi, bahkan acara tv yang bener-bener sama banget. dari yang cuma chat seminggu sekali sama si bandxdhy, lama-lama jadi rajin banget sampai jadi sehari sekali. selama 5 bulan ini, aku pun mulai ngerasa kalo kayaknya aku suka sama dia....tapi ya gitu.....dia gak pernah ngajak meet up di real life. iya, meet up. semacam kopi darat gitu, deh. dan kalo beneran pun aku bisa meet up sama dia, aku cuma takut kalau ternyata aku gak seperti yang dia harapkan. jadi, yaaah.....i will just let this flow. 

CETING-CETING! bunyi notifikasi chatlion tiba-tiba terdengar.


Beruntung (Cerpen)

Aku melewati ruang demi ruang pada koridor lantai 3 sekolahku dengan langkah tersuruk. Selain karena ini hari Senin yang merupakan hari pertama yang dihadapi setelah weekend, hari Senin juga sudah sejak lama menjadi hari sialku, karena pelajaran-pelajaran sulit bergabung jadi satu dalam jadwal pelajaran hari ini. Mungkin sengaja dipasang sebagai bentuk nyata dari kejamnya dunia? Aku gak tau pasti.
Jam dipergelangan tanganku menunjukkan pukul 5.21. wah, bahkan belum jam setengah enam? Aku pantas dinobatkan jadi murid teladan.
Karena sekolah ini masih terlalu sepi (dan aku gak mau sendirian di kelas yang gelap), aku berjalan turun lagi ke lantai dasar, melewati ruang demi ruang lain dengan tujuan pergi ke pos satpam, berniat membaca buku fisika ditemani Bang Maman, satpam andalan sekolah.
Kakiku terus melangkah menuju pos satpam saat tiba-tiba aku mendengar bunyi pantulan bola basket memasuki gendang telingaku. Kepalaku refleks beralih dari jalanan sepi di depan ke gedung olahraga di sisi kiriku. Sejurus kemudian, aku melirik ke arah pergelangan tanganku lagi. Jarum panjang masih belum berada di angka 6, dan seseorang sudah ada yang main basket disini? Sepagi buta ini?
Ah, mendadak aku ingat. Main basket jam berapapun akan terasa menyenangkan kalau memang sudah jatuh cinta. Akupun sempat mencecap indahnya jatuh cinta dengan olahraga itu. Dulu, sebelum aku masuk SMA dan jadi murid pintar pujaan para guru di sekolah (ini serius), aku pernah terjun masuk ke dalam ekskul basket SMP ku. Dan percaya atau tidak, aku ini jago. Banget. Aku bahkah beberapa kali masuk jadi pemain favorit dan memanangkan banyak perlombaan besar. Aku pun pernah punya mimpi untuk jadi pemain basket professional, yang sayangnya, sangat amat ditentang orangtuaku. Mereka pikir, jadi pemain basket itu gak menjanjikan. Tanding hanya saat musimnya, sekalinya tanding, energi dikuras habis-habisan, malah kadang stamina drop dan sebagainya. Belum lagi kalau mengalami cedera parah sampai akhirnya terpaksa pensiun dan keluar dari arena. Dapat penghasilan darimana?
Orangtuaku bahkan tidak pernah bangga atas segala kemenangan-kemenangan mutlak tim basket sekolahku karena nilai yang kucetak. Mereka tidak bangga atas semua piagam, piala, dan medali yang kubawa pulang sejak masih duduk di bangku SD. Setiap kemenangan hanya dianggap angin lalu, tak jarang mereka malah memarahiku karena dianggap aku tidak pernah belajar dan sebagainya. Kami sering bertengkar karena basket. Sering, terlalu sering. Semua kekesalan tersebut selalu kusimpan dalam hati dan ujung-ujungnya, aku selalu merasa menyesal dan minta maaf.
Sampai akhirnya, aku tak bisa lagi meminta maaf.
Tepat sehari setelah pertengkaran hebat karena kemenanganku untuk kesekian kalinya, aku dapat kabar bahwa orangtuaku mengalami kecelakaan beruntun. Kabar itu kudapat siang hari, saat masih jam-jam sekolah. Aku, Jana dan Rasyid, kakak-kakaku yang saat itu masih duduk di bangku SMA, langsung pergi ke rumah sakit dan mendapati bahwa orangtuaku sudah wafat. Sesaat kami semua terdiam. Berita itu terlalu tiba-tiba. Kulihat Jana menangis terisak, dan Rasyid terdiam lama dengan muka pucat pasi. Terlihat jelas diwajah mereka bahwa kehilangan ini menyakitkan.
Dan aku hanya bisa terduduk lemas, terdiam mengingat rentetan amarah yang meluncur dari mulutku malam sebelumnya, saat orangtuaku dan aku bertengkar habis-habisan membicarakan masa depanku.
Di saat itu, jatuh cinta pada basket adalah hal yang paling kusesali seumur hidupku.
Dan mengingatnya seperti membangkitkan rasa sakit.
****
“Radhiyan?”
Kesadaranku kembali berpijak pada kenyataan. Aku mendapati sosok perempuan cantik dalam balutan t-shirt abu-abu dan celana basket hitam sedang berdiri di ambang pintu gedung olahraga. Parasnya cantik luar biasa, walaupun wajahnya penuh oleh peluh yang membanjiri. Sesaat saja, aku pikir kesadaranku berpijak bukan pada kenyataan, namun berpijak di surga tempat malaikat-malaikat berkumpul dan dia salah satu diantaranya.
Namun ada satu hal yang paling penting dari kenyataan atau surga. Aku tidak tau siapa perempuan ini, tapi tahu darimana dia namaku?
Canggung, aku mengangguk dan tersenyum sekenanya.
“Kamu ngapain pagi-pagi buta ada di sini?”
Justru aku yang mau nanya itu.
“Hm, biasa datang jam segini, sih,” jawabku asal. Aslinya sih boro-boro. Subuh saja kadang kelewat.
“Kamu ngapain disini?” tanyaku padanya, berusaha mencairkan suasana.
Oh, bego. Jelaslah dia abis main basket kalau dilihat dari setelannya. Dasar Radhiyan bego.
“Oh, ini abis main basket.”
Tuh, kan.
Aku hanya mengangguk dan kembali berjalan menuju pos satpam, meninggalkannya yang entah kenapa malah balik lagi main basket kalau dengar dari suara pantulan bola dan decitan sepatu dengan lantai gedung olahraga. Dia mau mandi jam berapa kalau jam segini masih main basket?
Lalu aku pun terdiam. Kenapa jam mandinya anak perempuan gak dikenal itu malah tiba-tiba terasa lebih penting daripada pelajaran fisika maha dahsyat yang beberapa jam lagi kuhadapi, ya?

Sunday, March 23, 2014

Semudah Itu [one shot]

"Honey....kayaknya hari ini gak bisa, deh. aku harus antar mama ke bandara. minggu depan aja, ya? - Reza."

Saat membaca tulisan tersebut di layar ponselku, perasaanku mendadak kacau balau. aku sudah rela menunggu 2 jam di restoran kenangan kami sejak jaman SMA, sambil menenteng sebuah tas berisi kado yang kucari seharian khusus untuknya. lalu, ia sekarang dengan teganya membatalkan janji di hari spesial ini semudah itu? segampang itu? sebiasa itu???? bahkan ia tidak meminta maaf....

Huh, kalau aku bisa marah, mungkin sekarang aku sudah seperti singa hutan yang mengaum-mengaum kesal karena tidak dapat mangsa. namun sayang sekali, aku bukan singa. dan aku tidak bisa kalau harus marah kepadanya. sejahat apapun ia padaku, entah mengapa, mulutku ini tak bisa mengeluarkan satupun ungkapan kekesalan kalau sudah menyangkut Reza, pacarku yang kucintai hidup dan matinya itu. mungkin aku hanya terlalu sayang, terlalu cinta sampai tidak bisa marah. kesalahan demi kesalahan telah ia lakukan saat bersamaku, namun aku selalu dengan mudah menerima permintaan maafnya. kadang aku merasa bingung, merasa kesal, dan merasa dibodohi oleh makhluk tak berwujud yang bernama cinta. tapi ya mau bagaimana lagi? aku hanya tidak mau kehilangan dia.

Aku pun berusaha menghibur diriku dan perasaanku yang kacau balau ini dengan berjalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan yang tak jauh dari restoran kenangan kami. ya, aku, selayaknya seorang perempuan pada umumnya, pasti akan menjadikan 'shopping' sebagai penyembuh luka hati. saat sedang mencari baju model terbaru yang cocok dan sesuai keinginanku, tiba-tiba suara Farhan terdengar entah darimana. aku menghela nafas. hhh, ini bukan pertama kalinya hal ini terjadi padaku. kalau sudah rindu ingin bertemu, imajinasiku kadang bisa sedikit menjadi-jadi. 

"Baju yang ini bagus."

Lagi-lagi suara pacarku tertangkap oleh indra pendengaranku. aduh, aku harus berhenti berhalusinasi. malu-maluin, tau.

"Tapi baby, yang warna merah lebih bagus dibanding yang biru."

Astaga, suara itu lagi. kenapa sih kepalaku ini? kenapa suara pacarku bisa kedengaran jelas? aku pasti sudah gila karena cinta. mana mungkin dia ada disini, dia kan lagi nganter Mama nya ke bandara! gak mungkin lah....

Setelah kurang lebih satu menit berperang dengan pikiranku sendiri, aku pun memutuskan untuk menghubunginya. mau bagaimanapun, aku ini pacarnya. boleh dong kalau sesekali aku menelponnya?

Nada sambung telepon pun muncul. dan beberapa detik setelah itu, terdengarlah suara sebuah ringtone ponsel yang sangat amat kukenal suaranya. ringtone ini...ringtone ini persis sekali dengan ringtone ponsel pacarku, Reza! dan yang lebih parah lagi, kenapa suara ringtone itu berasal dari ponsel orang dibelakangku? jangan-jangan......

".....Reza?"

Laki-laki dibelakangku pun membalikkan badan. sejurus kemudian, tangannya yang sedang merangkul pundak gadis disampingnya pun dengan cepat diturunkan. ia menelan ludahnya, dan tubuhnya tiba-tiba berdiri menegak. ia terlihat terdesak. wajahnya memucat, matanya melebar, dan perempuan disampingnya hanya bisa melihatnya kebingungan.

Oh. jadi, begini? ternyata 2 jam penantianku di restoran tadi terbuang sia-sia karena Reza lagi asyik berduaan sama perempuan lain? pegang-pegangan, milih-milih baju, dan bahkan berbohong padaku dengan alasan antar Mama ke bandara? haha, hebat sekali laki-laki ini. kali ini kesalahanmu parah sekali, Reza. hatiku hancur, perih rasanya dikhianati seseorang yang sudah aku cintai lebih lebih dari apapun seperti ini. kesalahanmu yang lalu memang bisa kutolerir, tapi sekarang....jangan harap. seriously, what a huuuuggggeeee mistake you've did, Reza. 

Karena merasa kesal dan gondok setengah mati, aku pun langsung memberinya satu sindiran maut dan berharap wajahnya memucat lebih parah daripada yang sekarang ini.   

"Jadi, perempuan ini Mamamu? Mamamu awet muda, ya. tapi....bukannya Mamamu mau pergi keluar kota?" tanyaku basa-basi sambil memberi senyuman tak ikhlas.

"Tu, tunggu, honey...aku bisa jelas-"

PLAK!! satu tamparan dari tanganku mendarat cantik di pipi kanannya sebelum ia sempat selesai bicara. PLAK!! tamparan kedua dariku berhasil membuat pipi kirinya ikut memerah. tamparan itu untuk membuatnya kapok main wanita. PLAK!! tamparan lain untuk menyadari betapa sakitnya dikhianati orang yang dicinta. PLAK! PLAK! PLAK! PLAK! PLAK! PLAK!!!!!

Panggil aku jahat, kejam, psikopat, atau apapun terserah kamu. tapi aku tidak bohong, rasanya enak sekali menghajar dan melihat pipi laki-laki gak tau diri seperti Reza itu merah penuh luka tamparan sisa amarahku. 

Semudah itu kamu putuskan janji, semudah itu hubungan kita berakhir. 



Sunday, March 16, 2014

Angel on Earth [one shot]

Aku duduk di kursi kantorku sambil meregang-regangkan badan. hari ini terasa sangat lelah dan panjang, kepalaku pusing dan sepertinya badanku akan remuk dalam hitungan detik karena mengerjakan banyak sekali pekerjaan. aku melirik ke jam di pergelangan tanganku yang sudah menunjukkan pukul 20.21. astaga, sepertinya aku keasyikan mengerjakan pekerjaan kantor sampai-sampai tidak sadar sekarang sudah jam segini. pantas saja rasanya dari tadi perutku keroncongan. aku melihat ke sekelilingku, disana juga sudah sepi. hanya ada aku, dan 2 temanku yang lain, Malik dan Arif. terdorong oleh rasa lapar yang semakin mengkhawatirkan, akhirnya aku memutuskan untuk pergi beli makanan ke kafetaria di lantai bawah yang makanannya terkenal enak dan pas dengan uangku. tapi......jam segini masih buka gak ya?

"Rif, Lik, kafetaria masih buka gak sih? gue laper nih," tanyaku pada Arif dan Malik yang sedang sibuk berkutat dengan layar komputer.

"Kayaknya masih," kata Arif sambil melihat ke jam dinding.. "Lo mau kesana, Yan? kalo lo mau, gue ikut ya. laper banget nih gue."

"Oh, oke. Lik, lo mau ikut gak?"

Malik menggeleng dan menunjuk sebuah kotak makan didepannya. "Gue dibawain makanan tadi sama Vina. hehehe."

"Beh, enak ya kalo punya pacar....makan mah tiap hari dibawain terooos," ledek Arif dengan tatapan jail. 

"Iyelah, emang lu, jomblo gak laku-laku."

Karena tidak terima dibilang gak laku-laku, akhirnya Arif balas ejek. dan hanya dalam hitungan detik, mereka berdua sudah terlibat dalam adu mulut sengit yang membahas masa kesendirian Arif dan masa berpacaran Malik. aku, yang saat itu sudah benar-benar lapar tidak tertolong, akhirnya menarik lengan kemeja Arif dan menyeretnya menuju ke lift. 

"Kok lu narik gue sih? gue kan lagi mau bales kata-katanya Malik, Yan!" seru Arif dengan tatapan sewot. 

"Gue laper, Rif. lagian cuma gara-gara si Malik dibawain makanan aja masa lo sampe berantem," kataku sambil memencet angka 1 di lift. "lo ngiri ya sama dia gara-gara diperhatiin cewek?" tanyaku spontan pada Arif. Arif terdiam, lalu ia menggulung lengan bajunya. 

"Yah, kalo dibilang gitu sih, siapa juga yang gak ngiri, Yan. gue kan baru-baru ini diputusin pacar. makanya kalo ngeliat si Malik mesra banget sama si Vina, pacarnya yang cakep banget itu, gue jadi rada-rada inget kenangan gue sama mantan gue........"

Yaelah, si Arif. dia pake segala curhat dulu.

Biasanya disaat-saat si Arif atau Malik punya masalah dengan kehidupan mereka, aku akan mendengarkan segala kendala dan masalah yang mereka hadapi, lalu aku sebisa mungkin memberi solusi yang kali-kali aja bisa membantu. tapi kalo soal masalah cinta dan segala tetek-bengeknya — kayak yang lagi dihadapin si Arif sekarang — aku kayaknya gak bisa bantu banyak.

Dibanding Arif dan Malik, akulah yang paling sering dan paling lama menjomblo. Arif terakhir punya pacar kalau tidak salah sebulan yang lalu. sementara Malik, sampai sekarang cintanya masih bersemi dengan Vina. lalu disini ada aku yang bahkan tidak ingat kapan terakhir kali punya pacar. hm, rasanya benar-benar sudah lama sekali aku tidak memberi atau diberi perhatian khusus oleh perempuan. saking lamanya, kalah kali jaman neolitikum.

"Rif, gue gak yakin kali ini gue bisa ngasih solusi dalam masalah gagal move on lo. lo tau sendiri kan, gue ini juga gak punya pacar. malah gue menjomblo lebih lama dari pada lo," kataku yang lalu memesan ayam, nasi, dan es jeruk ke Mbak Lisna, pelayan di kafetaria. 

"Gue gak minta lo untuk ngasih solusi kok, gue cuma mau lo dengerin cerita soal masalah kesendirian gue, Yan."

"Oh, oke. kalau cuma dengerin sih gue bisa. tapi imbalannya ap-"

BRUK!! tanganku tidak sengaja menyenggol sebuah tas yang kemudian isinya berhamburan di lantai. sadar bahwa tas itu aku yang jatuhkan, akhirnya aku membungkukkan badan dan memunguti isi tas yang berhamburan tersebut. ada dompet, lipstik, jam tangan, dan sebuah id card dengan lambang berbentuk wajik.

"You don't have to do that," kata seorang Perempuan yang sedang berdiri disampingku. hm, sepertinya dia pemilik tas yang aku jatuhkan. kok ngomongnya pake bahasa inggirs? orang asing ya?

Aku lalu melihat ke arah datangnya suara dan langsung terperangah. benar apa kataku, dia memang orang asing. lebih tepatnya, cewek bule yang cantik sekali. saking cantiknya, aku sendiri sampai terhipnotis dan gak  bisa ngomong apa-apa. perempuan itu tampil dengan pakaian casual yang sederhana. cukup jaket warna navy blue, kaos putih polos, jeans, topi abu-abu, dan sneakers. astaga. hanya dengan pakaian sesimpel itu saja aku bisa sampai terkesima begini. gimana kalo misalnya nanti dia pake baju pengantin dan berdiri di sebelahku...pasti lebih cantik lagi.

Sejurus kemudian, tangan wanita itu menengadah, meminta padaku barang-barang yang aku pungut tadi. aku memberikannya, masih dengan tatapan terhipnotis. 

"You are such a nice guy," katanya sambil tersenyum. "Terima kasih ya." Sosoknya lalu pergi menjauhiku dan keluar dari pintu kafetaria. Ya Tuhan....perempuan tadi cantik sekali......

"Yan, itu makanan lo udah siap. Yan? Ryan? hoooy Ryaaaaaan!!!"

Aku menengok ke arah Arif dan langsung menepuk pundaknya. aku memasang wajah paling dramatis dan paling ganteng yang kumiliki, sambil berkata pada Arif satu kalimat penuh harapan.

 "Rif, bisa tolong ajarin gue cara dapetin cewek?"

****

Sunday, November 3, 2013

6. Love Confession (Bittersweet Love)

       Dimas mengejar Cherie yang saat itu keluar dari kamarnya. Langkah Dimas terhenti saat ia kemudian melihat Rama sedang memeluk Cherie yang menangis hebat.
       
       "Loh, kamu nangis? siapa? siapa yang nangisin kamu?"

       Dimas mengintip dari celah kecil di pintu kamarnya. Cherie tidak terlihat membalas balik pelukan Rama. ia hanya diam saja, pasrah di peluk si laki-laki pujaannya. "Oh, mungkin mereka sudah baikan....," pikir Dimas dalam hatinya. melihat kejadian itu, sungguh sebenarnya dalam hati, Dimas merasa sangat sedih. ia pun tidak tahu kenapa ia sedih, ia hanya merasa dadanya mendadak sesak. 
       "Apaan sih si Cherie itu, katanya dia suka sama gue, kok dia malah diem aja di peluk sama Rama?" Dimas berpikir keras tentang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi antara Cherie dan Rama. ia berpikir dan terus berpikir hingga kepalanya terasa pusing. 

        "Ah sudahlah, persetan dengan mereka berdua. lebih baik aku tidur saja," ucap Dimas yang kemudian menutup pintu kamarnya, meninggalkan Cherie dan Rama yang sekarang sedang adu mulut di koridor luar.

***

      Cherie daritadi terus-terusan melihat ponselnya dengan tatapan ragu. "Telfon gak ya, telfon gak ya...." Cherie terus menimbang-nimbang hingga akhirnya keputusannya bulat, ia harus menelpon Riani dan bilang bahwa ia tidak bisa membantunya lagi. 

      Cherie menekan nomor telepon Riani dan menunggu nada panggil. beberapa detik kemudian, telepon tersebut diangkat dan terdengarlah suara Riani dari seberang telepon. "Halo? Cherie? kenapa telepon?"
      "Ada satu hal yang harus saya bicarakan," kata Cherie.
      "Oh gitu? tentang apa? Dimas? kamu udah bisa bikin Dimas mau pulang, Cher?"


Monday, May 6, 2013

5. Anger and Tears (Bittersweet Love)

          2 Hari telah berlalu, tapi Cherie dan Dimas tidak saling bertukar kata. menyapa pun tidak. pokoknya 2 hari itu, Cherie benar-benar berusaha untuk menjauhi Dimas. ia berangkat sekolah lebih awal atau lebih siang dari biasanya. kalau disekolah, ia lebih memilih untuk diam dan gak nengok ke tempat duduk Dimas.

          Sementara Cherie berusaha menjauhi Dimas, si Dimas malah berusaha untuk ngomong sama Cherie. setiap jam pelajaran sekolah, Dimas selalu manggil-manggil Cherie, tapi tentu saja Cherie gak mau nengok. setiap pulang sekolah, Cherie buru-buru kabur keluar kelas. Dimas gak ngerti kenapa Cherie menghindarinya. salah apa dia sampai Cherie begitu mati-matian menjauhinya? "Padahal dulu-dulu nempel mulu ke gue, sekarang? ngeliat mata gue pun engga", kata Dimas dalam hatinya.