Friday, April 10, 2015

Beruntung (Cerpen)

Aku melewati ruang demi ruang pada koridor lantai 3 sekolahku dengan langkah tersuruk. Selain karena ini hari Senin yang merupakan hari pertama yang dihadapi setelah weekend, hari Senin juga sudah sejak lama menjadi hari sialku, karena pelajaran-pelajaran sulit bergabung jadi satu dalam jadwal pelajaran hari ini. Mungkin sengaja dipasang sebagai bentuk nyata dari kejamnya dunia? Aku gak tau pasti.
Jam dipergelangan tanganku menunjukkan pukul 5.21. wah, bahkan belum jam setengah enam? Aku pantas dinobatkan jadi murid teladan.
Karena sekolah ini masih terlalu sepi (dan aku gak mau sendirian di kelas yang gelap), aku berjalan turun lagi ke lantai dasar, melewati ruang demi ruang lain dengan tujuan pergi ke pos satpam, berniat membaca buku fisika ditemani Bang Maman, satpam andalan sekolah.
Kakiku terus melangkah menuju pos satpam saat tiba-tiba aku mendengar bunyi pantulan bola basket memasuki gendang telingaku. Kepalaku refleks beralih dari jalanan sepi di depan ke gedung olahraga di sisi kiriku. Sejurus kemudian, aku melirik ke arah pergelangan tanganku lagi. Jarum panjang masih belum berada di angka 6, dan seseorang sudah ada yang main basket disini? Sepagi buta ini?
Ah, mendadak aku ingat. Main basket jam berapapun akan terasa menyenangkan kalau memang sudah jatuh cinta. Akupun sempat mencecap indahnya jatuh cinta dengan olahraga itu. Dulu, sebelum aku masuk SMA dan jadi murid pintar pujaan para guru di sekolah (ini serius), aku pernah terjun masuk ke dalam ekskul basket SMP ku. Dan percaya atau tidak, aku ini jago. Banget. Aku bahkah beberapa kali masuk jadi pemain favorit dan memanangkan banyak perlombaan besar. Aku pun pernah punya mimpi untuk jadi pemain basket professional, yang sayangnya, sangat amat ditentang orangtuaku. Mereka pikir, jadi pemain basket itu gak menjanjikan. Tanding hanya saat musimnya, sekalinya tanding, energi dikuras habis-habisan, malah kadang stamina drop dan sebagainya. Belum lagi kalau mengalami cedera parah sampai akhirnya terpaksa pensiun dan keluar dari arena. Dapat penghasilan darimana?
Orangtuaku bahkan tidak pernah bangga atas segala kemenangan-kemenangan mutlak tim basket sekolahku karena nilai yang kucetak. Mereka tidak bangga atas semua piagam, piala, dan medali yang kubawa pulang sejak masih duduk di bangku SD. Setiap kemenangan hanya dianggap angin lalu, tak jarang mereka malah memarahiku karena dianggap aku tidak pernah belajar dan sebagainya. Kami sering bertengkar karena basket. Sering, terlalu sering. Semua kekesalan tersebut selalu kusimpan dalam hati dan ujung-ujungnya, aku selalu merasa menyesal dan minta maaf.
Sampai akhirnya, aku tak bisa lagi meminta maaf.
Tepat sehari setelah pertengkaran hebat karena kemenanganku untuk kesekian kalinya, aku dapat kabar bahwa orangtuaku mengalami kecelakaan beruntun. Kabar itu kudapat siang hari, saat masih jam-jam sekolah. Aku, Jana dan Rasyid, kakak-kakaku yang saat itu masih duduk di bangku SMA, langsung pergi ke rumah sakit dan mendapati bahwa orangtuaku sudah wafat. Sesaat kami semua terdiam. Berita itu terlalu tiba-tiba. Kulihat Jana menangis terisak, dan Rasyid terdiam lama dengan muka pucat pasi. Terlihat jelas diwajah mereka bahwa kehilangan ini menyakitkan.
Dan aku hanya bisa terduduk lemas, terdiam mengingat rentetan amarah yang meluncur dari mulutku malam sebelumnya, saat orangtuaku dan aku bertengkar habis-habisan membicarakan masa depanku.
Di saat itu, jatuh cinta pada basket adalah hal yang paling kusesali seumur hidupku.
Dan mengingatnya seperti membangkitkan rasa sakit.
****
“Radhiyan?”
Kesadaranku kembali berpijak pada kenyataan. Aku mendapati sosok perempuan cantik dalam balutan t-shirt abu-abu dan celana basket hitam sedang berdiri di ambang pintu gedung olahraga. Parasnya cantik luar biasa, walaupun wajahnya penuh oleh peluh yang membanjiri. Sesaat saja, aku pikir kesadaranku berpijak bukan pada kenyataan, namun berpijak di surga tempat malaikat-malaikat berkumpul dan dia salah satu diantaranya.
Namun ada satu hal yang paling penting dari kenyataan atau surga. Aku tidak tau siapa perempuan ini, tapi tahu darimana dia namaku?
Canggung, aku mengangguk dan tersenyum sekenanya.
“Kamu ngapain pagi-pagi buta ada di sini?”
Justru aku yang mau nanya itu.
“Hm, biasa datang jam segini, sih,” jawabku asal. Aslinya sih boro-boro. Subuh saja kadang kelewat.
“Kamu ngapain disini?” tanyaku padanya, berusaha mencairkan suasana.
Oh, bego. Jelaslah dia abis main basket kalau dilihat dari setelannya. Dasar Radhiyan bego.
“Oh, ini abis main basket.”
Tuh, kan.
Aku hanya mengangguk dan kembali berjalan menuju pos satpam, meninggalkannya yang entah kenapa malah balik lagi main basket kalau dengar dari suara pantulan bola dan decitan sepatu dengan lantai gedung olahraga. Dia mau mandi jam berapa kalau jam segini masih main basket?
Lalu aku pun terdiam. Kenapa jam mandinya anak perempuan gak dikenal itu malah tiba-tiba terasa lebih penting daripada pelajaran fisika maha dahsyat yang beberapa jam lagi kuhadapi, ya?


****
“Loh, Radhiyan?”
Aku menoleh. Lah, dia lagi?
“Kamu ambil kelas ini juga?” tanya perempuan itu dengan wajah berseri-seri yang begitu menyilaukan.
Seperti dapat restu dari semesta, aku kembali bertemu dengan si perempuan basket ini di sekolah, kali ini dengan setelan seragam dan ransel warna biru tua. Dan restu lain yang diberi semesta adalah ternyata kami sekelas lintas minat. Oh, lucky me.
“Iya, saya ambil kelas ini,” jawabku singkat.
Ia menaruh ranselnya dan duduk di kursi di baris sebelahku.
Karena masih bertanya-tanya dia tahu namaku darimana—dan siapa sebenarnya nama dia, akupun memberanikan diri bertanya.
Jawabannya sungguh tidak terduga. Kupikir dia akan menjawab karena-kamu-siswa-pintar-yang-dipuja-guru (orang lebih mengenalku seperti itu), namun ternyata tebakanku salah.
“Aku tahu kamu karena kita dulu sama-sama ekskul basket, Radhiyan. Sudah sejak SD.”
...........astaga.
“Kamu kenapa udah gak basket lagi, Radhiyan?”
Urung membagi ceritaku pada gadis ini, aku kembali menjawab asal-asalan. “Yah, udah gak niat. Tiba-tiba lupa cara main basket.”
Perempuan itu tertawa ringan. “Kamu gak mungkin lupa, Radhiyan. Dan kamu juga gak mungkin gak niat. Kamu bukannya punya cita-cita jadi pemain basket?”
Ternyata perempuan ini tau lebih banyak daripada yang kuduga.
“Iya, sempat. Tapi benar-benar lupa cara mainnya. Beneran,” aku berkelit lagi.
“Kalo gitu, mau gak main basket sama saya? Saya ajari lagi biar ingat.”
……………………………………………astaga.
Dia bilang apa?
“Pulang sekolah nanti kebetulan ada latihan gabungan ekskul basket putra dan putri. Kamu boleh ikutan, tenang saja.”
Sulit rasanya menolak tawaran menggiurkan. Apalagi aslinya memang aku memang masih jatuh cinta sama basket. Tapi aku mendadak ingat lagi. Basket selalu membangkitkan sakit dan penyesalan. Dan terlarut dalam irama permainannya hanya membuatku semakin kecil dan tidak berdaya.
Lebih baik mencegah daripada mengobati, Radhiyan. Katakanlah tidak daripada kamu sakit dan kalut sendiri.
“Gak bisa,” kataku pelan. “Saya gak bisa- maaf, siapa namamu?”
“Rasya,” ia menjawab singkat. Seperti tidak mengenal kata ‘tidak’, ia lanjut mengajakku untuk ikut main basket lagi. “ayo dong, Yan! Pasti seru, kok!”
Aku menghela napas. Susah sekali lho rasanya menolak tawaran menggiurkan. Apalagi kalau datangnya dari perempuan semacam Rasya ini.
“Kamu gak ngerti, saya benar-benar gak bisa main basket. Gak hari ini ataupun besok, ataupun lusa.”
“Kalau gitu buatlah saya mengerti!” seru perempuan itu. “Kenapa kamu gak mau main basket lagi? Radhiyan, saya gak bego. Gak ada orang yang tiba-tiba lupa cara main permainan yang sudah dicintai setengah mati. Saya sudah tau kamu dari SD, walaupun kamu bahkan gak kenal saya sama sekali. Saya tau kamu gak mungkin kamu lupa, Rad. Saya gak bego.”
Lah, kenapa perempuan ini tiba-tiba berapi-api begini?
Entah karena dorongan hormon berlebihan yang masih bergejolak dalam tubuhnya, atau karena memang dongkol setengah mati karena aku gak tau siapa namanya padahal dia kenal aku sudah sejak SD, perempuan itu mengambil tasnya dan keluar dari kelas. Rasa-rasanya ia gak akan kembali lagi ke kelas untuk hari ini. Mungkin ia cabut kelas. Siapa yang tau?
Dasar cewek aneh.
****
“Radhiyan, kamu emang jempolan!” seru Toni yang sedang berlari kearahku. Toni adalah salah satu teman sekelas yang paling dekat denganku. Ia tidak pernah menjauh walaupun aku bersikap dingin atau apa.
Kupikir ia akan menyalamiku karena baru saja mendapat nilai kimia paling bagus. Ternyata bukan. Ternyata jawaban Toni diluar dugaan.
“Kamu hebat benar sampai bisa ngobrol sama si Rasya!”
Lah, Rasya? Itu cewek lagi?
“Kamu kenal dia, Ton?”
Toni mengambil kursi dan duduk di sebelahku. Wajahnya semangat seperti anak TK yang dikasih mainan baru.
“Jelaslah, Rad! Siapa yang gak kenal, sih?! Dia itu cewek idola! Kapten tim basket putri, easy going, tapi yang paling penting: cantik! Wah, pokoknya pujaan laki-laki satu SMA kita! ”
Gak heran sih, Rasya kan, cantik. Ya walaupun kayaknya agak lebay juga, sih, kalo satu sekolah sukanya sama dia doang.
“Kamu ngomongin apa aja sama dia, Rad?” tanya Toni penasaran.
“Dia tanya-tanya kenapa saya gak mau basket lagi. Sayangnya, saya malah bikin dia marah.”
Toni tergelak, sibuk tertawa terpingkal-pingkal dikursinya. Apanya yang lucu?
“Hebat, hebat kamu emang, Rad!!” jawab Toni, “Kamu harus tau, Rasya itu bukan tipe perempuan yang senang bicara sama cowok. Semua cowok yang nembak dia pasti ditolak. Super jarang kalau dia sampai bicara banyak, apalagi sampai tanya-tanya begitu. Dia biasanya cuma jawab sekenanya, lalu pergi begitu saja.”
Aku manggut-manggut sok-sok paham. Lalu apa aku harus merasa spesial?
Seperti bisa membaca pikiranku, ia pun mengangguk dengan wajah yakin. “Kamu emang spesial, Rad. Tebakanku, dia pasti suka kamu.”
“Kamu berpikiran terlalu jauh, Ton,” kataku ringan. “Mending kerjain dulu pr ini. Daripada pusing nanti-nantinya.”
Toni Cuma geleng-geleng. “Yang ada, ngerjain itu malah bikin gue pusing sekarang sampai besok-besok, Rad.”
****
Hari-hari berlalu begitu cepat, dan tanpa sadar, hari ini adalah hari Senin, tepat seminggu setelah pertemuan pertamaku dengan Rasya yang berujung di kelas lintas minat yang sama.
Percaya atau tidak, selama 6 hari lalu setelah hari Senin maha penting itu, otakku tak bisa berhenti memikirkan Rasya dan sikap kekeuhnya untuk mengajakku basket. Diam-diam aku menyesal tidak mengiyakan ajakannya, padahal jelas aku memang jatuh hati padanya.
Duilah, kenapa mendadak aku sentimentil begini?
Aku kembali duduk di tempat yang sama seperti minggu lalu di kelas lintas minat sambil membaca buku biologi. Bukannya aku hobi baca buku pelajaran, ya. Kebetulan saja besok memang ada ulangan. Dan aku gak mau nilaiku jelek.
Baru beberapa menit aku membuka buku cetak biologi ini, tiba-tiba sudut mataku menatap sosok perempuan sedang terdiam berdiri di depanku. Kepalaku mendongak, dan ternyata perempuan itu adalah Rasya.
Ya ampun, dia lagi?
Wajah Rasya saat itu sangat aneh (aneh, bukan jelek). Wajahnya…. Tidak bisa ditebak apa emosi yang terpancar disana. Tidak jelas apakah dia marah, sedih, kecewa, atau gelisah.
“Kenapa?” tanyaku, memecah keheningan yang agak canggung barusan. Bukannya kita lagi perang dingin?
“Kamu harus bantu aku, Radhiyan. Peduli setan apapun masalahmu. Kamu harus bantu aku.”
Aku melongo bingung. Bantu apa?
Rasya menarik napas panjang. “Oke, sebelumnya, maaf kalau saya lancang atau apa, tapi saya mau minta tolong satu hal saja. Dan itu berhubungan dengan basket. Tolong, sekali ini saja bantu aku!”
Perasaanku tiba-tiba gak enak.
“Maksudmu apa?”
Rasya menarik tanganku dan menggiringku menuju pojok lantai 3 gedung SMA ku yang sangat sepi. Hampir tidak kulihat tanda-tanda kehidupan selain kami. Maksud gadis ini apa, sih?
“Aku benar-benar minta maaf, Radhiyan.”
“Untuk apa?”
“Aku tidak sengaja menjadikanmu ‘jalan keluar’ untuk masalahku.”
Dahiku agak mengerut mendengar kata-kata Rasya. Duh, kenapa perempuan ini gak to the point langsung aja, sih?
“Hari Sabtu lalu, saat ada latihan gabungan ekskul basket putra dan putri, Marco ‘nembak’ saya.”
Oh, oke. Marco. Anggota ekskul basket sekolah kami yang paling disegani, bahkan dari anak non basket. Dengan badan tegap nan tinggi, siapa yang gak kenal Marco? Garis mukanya yang tegas dan galak mencerminkan sebetapa macho nya dia sebagai laki-laki. Walaupun begitu, gak banyak orang yang berani mendekatinya, karena mendekatinya—apalagi mengusiknya—sama saja seperti membangunkan harimau tidur. Galak dan seram, pokoknya.
Marco juga punya anak buah berkompi-kompi. Gak kehitung lagi berapa orang yang menjadikannya ‘dewa’ untuk dipuja-puja. Hampir semua orang menjadikannya patokan hidup, entah karena alasan apa. Padahal menurutku, gayanya tak lebih dari sekedar preman kampung. Galak dan mengintimidasi.
Tapi yang paling penting dari semuanya, Marco adalah musuh bebuyutanku sejak masih SMP. Kami tidak berada di satu sekolah yang sama, tapi kami saling tau diri kami masing-masing karena memang tim basket kami sudah rival sejak zaman dahulu kala. Kami berdua sama-sama kapten tim, jelas saja permusuhannya lebih kental terasa. Marco punya skill yang baik, tapi skill ku dan dirinya pun tidak berbeda. Bisa dibilang setingkat. Nilai plusnya cuma karena tubuh Marco lebih besar, jadi enak kalo nyenggol-nyenggol orang pas lagi main.
Oke oke, balik lagi ke Rasya.
“Terus kenapa, Sya?”
“Jujur saja, Radhiyan. Saya bukan tipe orang yang suka bicara sama laki-laki. Apalagi kalau laki-lakinya itu semacam  Marco yang galak dan mengintimidasi. Udah gitu, gayanya ngesok pula. Saya gak suka,” Rasya mulai terlihat putus asa. “Hari Sabtu lalu, dia memintaku untuk jadi pacarnya, jelas saja saya menolak! Tapi dia tetap bersikukuh, dan ujung-ujungnya jadi memaksa.”
“Dia tanya apa aku sudah punya pacar atau orang yang disuka, tapi saya gak jawab apapun,  saya Cuma bilang kalau itu bukan urusannya. Tapi dia gak mau peduli, dan malah jadi ngotot sendiri. Saat itu emosi saya sedang bergejolak, dan karena ia terus memaksa, saya….”
Kata-kata Rasya menggantung diudara, ia tidak melanjutkannya dan itu semakin membuat perasaanku gak enak.
“……saya bilang saya suka sama kamu, Rad.”
…………………………………………………………….Apa?
Barusan dia bilang apa?
Melihat reaksiku yang kaget dan gak percaya, Rasya langsung gelagapan dan panik, “i-itu engga sengaja, pas itu saya lagi sebal-sebalnya setengah mati sama kamu karena kamu gak mau kasih tau alasannya kenapa kamu berhenti main basket, padahal saya senang kalo lihat kamu main. Jujur saja, saya ini fans kamu, Rad. Dan berhentinya kamu bermain basket itu bikin aku patah hati. Seminggu yang lalu pikiran saya isinya kamu doang, makanya pas ditanya begitu pun akhirnya yang keluar malah kamu, bukan yang lain,” jawab Rasya dengan wajah yang merah semerah kepiting rebus.
Aku yang baru saja dapat info mengejutkan ini berusaha untuk tetap terlihat santai dan cool (padahal seneng setengah mati). Bukan berarti aku gak pernah disukai perempuan, lho, ya. Kalo bisa dibilang sih, perempuan yang naksir aku cukup banyak. Cuman baru sekali ini aja ada perempuan yang bilang kalo dia ngefans aku bahkan mikirin aku sampai semingguan.
“Lalu, hubungannya sama basket apa?”
“Ah, iya….itu, Marco nantang kamu duel. One on one aja. Kalo kamu menang, Marco bakal lepasin aku dan gak ngejar-ngejar lagi. Tapi kalo kamu kalah…” kata-kata Rasya terhenti sebentar. “…aku harus jadian sama dia.”
Sialan juga Marco. Lagaknya ngajak duel-duel. Dikiranya aku takut?
Eh, tapi, one on one basket? Sial. Aku baru ingat aku trauma main basket!
“Radhiyan? Kamu bisa, kan?”
Aku menarik napas. Ya, cepat atau lambat memang aku harus berhubungan lagi dengan basket, karena memang itulah bidangku.
“Rasya, kamu harus tau satu hal dulu,” jawabku, berusaha santai. Kulihat Rasya melihatku harap-harap cemas.
“Susah untuk saya kembali lagi main dan masuk ke lapangan basket, bahkan hanya untuk main-main iseng. Bukan karena saya lupa, alasan saya yang kemarin itu memang Cuma untuk menghindari ajakan kamu main basket. Saya gak bisa lagi main basket, Rasya. Orangtua saya menentangnya habis-habisan,” aku pun kemudian menjelaskan semua detail masalah dan alasan kenapa aku menolaknya bermain basket. Aku menceritakan alasan bagaimana bermain basket mengingatkanku pada penolakan orangtuaku, mengingatkanku akan sakitnya tidak bisa meminta maaf, dan mengingatkanku akan penyesalan. Dan Rasya hanya terdiam. Pasti sekarang dia juga bingung luar biasa.
“Kenapa saya sebodoh ini ya, Rad?” tanya Rasya lirih. Ingin rasanya aku menarik tubuhnya ke dalam rengkuhan dan memberi kata semangat, tapi rasanya gak mungkin juga. Siapa juga aku peluk-peluk dia?
Setelah pertanyaannya yang terakhir, tidak ada lagi kata yang terucap dari bibir kami berdua. Kami sama-sama terdiam, sibuk tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mungkin Rasya sudah membayangkan pacaran sama Marco yang terkenal menyeramkan. Dan dipikiranku pun aku membayangkan hal serupa. Tapi bedanya, dengan sedikit adegan-adegan yang lebih bikin aku yang juga suka padanya ngerasa ngamuk. Yah, kalian tau lah.
“Aku terima duelnya dia, Sya,” kataku mantap.
Rasya mendongak kaget. “Kamu serius?”
Aku mengangguk. Pasti. Tanpa ragu sedikitpun. Akan kuperjuangkan Rasya bagaimanapun caranya.
“Kamu boleh bilang ‘engga’, Rad,” kata Rasya kembali lirih. “Aku gapapa.”
Dasar cewek. Pas udah di iya-in, dia sok-sok lapang hati.
“Saya gak peduli, Rasya,” kataku mantap. “Saya mau tantang Marco. Saya gak mau kamu diambil sama laki-laki macam dia. Lebih baik kamu jadian sama saya daripada harus sama dia.”
Kali ini wajah Rasya berubah. Tak jelas apa maksud ekspresi wajahnya. Tapi siapa peduli. Kepalang tanggung, mending lanjut nyatakan saja.
“Jujur, Rasya. Saya baru Senin lalu lihat wajah kamu. Belum pernah sama sekali liat sejak SD, atau SMP, benar-benar baru pagi itu saat kamu main basket. Saya juga gak tau siapa namamu. Tapi saat itu saya tau, saya langsung jatuh hati.”
Rasya terkesiap. Matanya membelalak mendengar itu semua meluncur dari mulutku, mungkin ia tidak mengantisipasinya. Entahlah, siapa peduli.
“Saya gak minta jawaban apa-apa kok. Jangan sampai perasaan ini memberatkan. Saya bakal usaha biar menang. Kamu gak usah khawatir. Saya masih ingat pola dan tempo permainan Marco,” tambahku. Sejurus kemudian, aku berdiri dari tempatku duduk dan menepuk-nepuk pundak Rasya, lalu beringsut pergi.
Semoga aku benar-benar menang. Menang dari Marco, dan menang dari traumaku.
****
“Berani juga kamu dateng-dateng kesini,” tanya Marco sambil melipat tangan di dada.
“Saya gak suka cara kamu nantang-nantang duel cuma karena Rasya.”
Marco tertawa. Kurang ajar. Dia pikir aku kesini untuk mendengar tawa jahanamnya?
“Ada apa, sih, Rad? Saya gak tau kamu sepecundang ini,” katanya sambil tersenyum licik. “eh, saya sudah tau sebenarnya. Hanya gak tau saja bahwa kepecundanganmu ini sudah masuk level lebih expert.”
Kalau membunuh itu legal, sudah kupenggal kepalanya sejak beberapa menit yang lalu.
“Mau duel kapan?” tanyaku santai, sengaja nantangin.
“Hmmm,” Marco bergaya sok-sok mikir (otak dempulan gitu mana bisa mikir sih, Mar?). lalu pilihannya jatuh pada hari Sabtu 3 minggu lagi.
Oke, siapa takut?!
Aku mengiyakan usulannya dan berlalu begitu saja. Eh, tapi sebelumnya, aku kembali membalikkan tubuhku kearah Marco.
“Mar, kalo kamu memang cowok beneran, jangan keroyokan kalo kamu kalah. Hadapi dengan gentle.
Marco tersenyum sinis. “Senang rasanya punya rival lagi, Rad.”
****
Sejak bicara dengan Marco mengenai jadwal tanding demi Rasya, aku mulai rajin-rajin latihan. Walaupun agak sulit juga karena bayangan orangtua ku selalu muncul, aku berusaha mati-matian menepisnya. Beberapa kali aku jatuh karena pusing dan gak kuat membayangkan ketakutanku. Namun, aku harus berusaha. Rasya adalah fokus utama. Fokus utama! Jadikan itu ring basketmu, Rad. Tembak bolamu kesana!
Setiap pagi, aku selalu berangkat kesekolah jam 5 untuk latihan basket di gedung olahraga. Seperti pagi ini. Bang Maman, satpam andalan sekolah pun sudah kenal dan hafal mukaku. Ya iya dong, siapa anak yang rajin banget dateng jam 5 cuma buat main basket?
Eh, Rasya juga, ding. Dia kan juga rajin dateng pagi untuk latihan.
Aku mengambil bola basket yang sengaja kubawa dari rumah. Bola tersebut ku dribble berkali-kali untuk melemaskah otot tanganku, setidaknya biar enak megangnya.
Sekarang latihanku mulai serius. Aku berkali-kali mencoba untuk melakukan shoot dengan berbagai teknik. Sampai sekarang pun, aku tidak merasakan adanya penurunan pola dan tempo permainanku. Satu hal yang selalu aku ingat dari permainan basket one on one adalah, buatlah lawan menerka-nerka gerak permainan. Lakukan gerak-gerak mengecoh. Putaran, taruh bola pada posisi rendah dan dribble dengan jari, serta jangan nunduk, karena nunduk Cuma bikin kita gak sadar letak dan gak bisa mengukur jarak untuk ngeshoot.
Setelah beberapa kali melakukan teknik permainan pro seperti fade away, jump shoot, hook shoot, crossover dan slam dunk, aku mengakhiri permainanku dan memasukkan semua barang-barangku ke tas, sambil beranjak pergi. Baru saja aku baru melangkahkan kakiku melewati pintu gedung olahraga, tiba-tiba tubuhku gak sengaja ketabrak sama orang lain.
Yang ternyata—sangat tidak di duga-duga— adalah Rasya, yang mengenakan t-shirt dan celana basket.
“Ah,” kataku singkat sambil mengangguk. “Pagi.”
Rasya mengangguk, canggung. Aku melewatinya dan baru saja akan belok ke kanan kalau tiba-tiba dia tidak memanggil namaku.
“Radhiyan,” katanya pelan, namun cukup terdengar jelas karena sepinya suasana sekolah pagi itu. “Main, yuk.”
Aku membalikkan tubuhku dan menatapnya lama. Sejurus kemudian, aku mengangguk. Tidak jelas juga alasannya kenapa aku masih mau main jam segini, padahal harusnya aku sudah beringsut mandi.
“Oke, Sya. One on one, ya. Skor sampai 10 kali masukin bola. Yang kalah traktir beliin Milo,” jawabku santai sambil berjalan kearahnya. Bisa kulihat wajahnya tersenyum, tapi matanya menyiratkan tanda bahwa ia sebenarnya gugup, tidak jelas karena apa. Mungkin masih agak-agak emosional setelah aku tembak. Biasa, lah. Perempuan.
Tempo permainan berjalan lumayan cepat. Tapi yang paling penting, permainan itu berjalan menyenangkan. Benar juga ternyata orang-orang yang bilang Rasya jago main basket, karena kenyataannya, dia emang jago. Menantang dan memacu andrenalin sekali saat one on one dengan Rasya. Pantaslah kalau begini dia jadi tim kapten. Aku yang mantan tim kapten pun hampir-hampir kecolongan kena shoot nya.
Walaupun pada akhirnya aku menang juga, sih.
Berniat menepati janjinya, Rasya mengajakku untuk pergi ke minimarket depan sekolah untuk membeli Milo disana karena kantin belum buka. Aku dan Rasya bukannya balik ke sekolah dan mandi (dalam kamar mandi yang berbeda, tentunya), malah asik duduk-duduk nongkrong di kursi bar di dalam minimarket itu sambil menghabiskan Milo kaleng yang baru Rasya beli.
“Kamu emang jago, ya, Rad,” kata Rasya memecah keheningan yang sempat menyusup antara kami berdua.
“Kamu juga, ternyata lumayan. Pantas jadi kapten tim,” jawabku enteng. Yah, sudah sering, sih, dibilang jago. Sekali-sekali kita juga memuji orang lain, dong.
“Kamu juga kapten tim,” ucap Rasya sambil tersenyum.
“Itu dulu, Sya,” jawabku, mengoreksi perkataannya yang sudah jelas salah karena sekarang kapten tim basket putra sekolahku itu Marco, rivalku 3 minggu lagi.
Wajah Rasya tiba-tiba berubah sendu. Ia menggigit-gigit bibirnya. Matanya terlihat gelisah.
“Rad, maaf.”
Aku meletakkan kaleng Miloku dan  menatapnya lekat-lekat. “Untuk apa?”
“Maaf karena sudah bikin kamu susah, maaf karena seenaknya bilang sesuatu tanpa mikir panjang kebelakangnya. Maaf banget, Rad.”
Setelah menghela napas panjang mengingat nasib sialku yang datang karena Rasya (yang tidak kusesali sama sekali), aku memegang pundak Rasya dan memberikannya wajah paling meyakinkan yang kupunya, walaupun tidak tahu juga apakah wajah meyakinkanku sudah melewati level meyakinkan atau belum. Ah, sudahlah. Terlalu banyak meyakinkan-ception, aku harap dia paham bahwa wajah meyakinkanku ini adalah wajah optimis akan kemenangan dan kebebasannya dari tangan Marco, dan kebebasan mataku dari melihat Rasya di pegang-pegang preman kampung jago basket itu.
Sepertinya Rasya tidak mengerti maksud tatapanku, karena ia malah melihat ke layar ponselnya dan berkata bahwa sekarang sudah hampir jam 6 dan lebih baik kami pergi mandi (di dalam kamar mandi yang berbeda) daripada sekolah dengan badan lengket-lengket karena keringat.
Tenang, Rasya. Aku pasti menang.

****
Waktu berlalu begitu cepat. 3 minggu terasa seperti angin, datang cepat dan mengusik. Jelas, lah mengusik. Ini duel maut antar rival zaman SMP.
Kupikir pertandinganku dan Marco hanya akan berlangsung di ruang tertutup seperti gedung olahraga, tapi rupanya—emang dasar Marco—ia mengajak seluruh teman-teman kalangan ‘jet set’ nya plus bawahannya yang berkompi-kompi untuk mendukungnya. Mereka semua mengelu-elukan Marco saat Marco masuk ke lapangan basket. Seketika rasanya seperti berada dalam arena adu tinju atau smackdown, karena suasananya memang kebetulan mirip seperti itu; Marco terkesan kuat, berotot kawat tulang besi macam gatot kaca. sementara aku; kecil, sekali tebas juga habis.
Hei, optimis, Rad! Optimis! Pasang Rasya sebagai ring basketmu!
Aku masuk ke dalam lapangan basket. Hening merasuki lingkungan sekitar. Tidak ada elu-eluan, tidak ada apapun.
Namun kemudian, aku melihat Rasya yang menatapku harap-harap cema berdiri tidak jauh dari ring basket. Melihatnya saja sudah membangkitkan semangat terbaikku.
Aku menghapus bayangan Rasya dari otakku dan memfokuskan diri pada pertandingan. Duh, sejak kapan one on one jadi semenyeramkan ini? Apa karena lawannya Marco? Apa karena ini merupakan taruhan demi Rasya?
DUH, FOKUS, RAD!
Wasit pertandingan berdiri tak jauh dari kami dan pertandingan penentuan ini terjadi. Diluar dugaanku, Marco sudah banyak berkembang. Pola permainannya lebih tertata. Walaupun begitu, aku masih tetap unggul diatasnya. Iya dong! Optimis!
Pertandingan berlangsung sengit. Sudah beberapa menit lamanya skor kami sama. Kelihatan sekali Marco tidak dapat menahan kesalnya karena terus menerus kuhadang dan terus menerus kurebut bola ditangannya.
Tempo permainan yang lambat juga sebenarnya membuat energiku terkuras, sih. Jadi sebenarnya sama-sama saja. Kami bisa dibilang sudah tidak fokus.
Elu-eluan untuk Marco masih berkumandang. Lebih parahnya lagi, sekarang ada bendera warna merah marun yang bertuliskan “Salam Jenderal Marco” dikibar-kibarkan para bawahannya.
Duh, main basket, kok, norak.
Mikirin fungsi dan warna bendera merah marun bertuliskan ‘Jenderal Marco’ tersebut membuyarkan fokusku dan diluar kendaliku, Marco pun mencetak poin.
Dasar bendera merah marun pembawa petaka.
Aku kembali dalam fokusku dan dengan tekhnik lay-up yang terbilang sangatlah mudah, aku sukses mengecoh Marco dan mencetak angka sehinga poin kembali sama.
Marco terlihat keki, namun menelan bulat-bulat rasa kekinya itu dan lanjut bermain terlalu cepat. Oh, sabar, Marco. Semua harus sabar. Gak sabar gak disayang Tuhan, bukan?
Pada menit-menit terakhir, tempo permainan semakin cepat. Tidak ada satupun dari kami yang mau kalah. Kendali bola saat itu ada ditanganku, tapi memang dasar aku manusia sial, bola tersebut jadi berpindah tangan karena aku tadi sedang sangat-sangat tidak fokus.
Tepat 3 menit sebelum permainan berakhir, aku kecolongan. Marco memberi shoot paling indah dan paling sulit yang pernah kulihat sebelumnya. Hal itu membuatku belingsatan. Mengamuk, kali ini aku yang bermain dengan tempo cepat. Sebodo amat. 2 menit lagi! 2 menit lagi dan aku gak mau si brengsek ini menang.
Aku mulai putus asa saat waktu menunjukkan 1 menit. Sudahlah. Aku butuh 2 kali shoot lagi agar bisa menang. Mencetak skor 1 menit sebelum permainan usai itu sulit. Kalau aku tidak dapat shoot sama sekali, habis sudahlah martabat dan Rasyaku. Habis sudah aku.
Tiba-tiba saja, seperti melihat seberkas cahaya pelangi turun dari dan berhujung pot of gold, aku merasa bahagia. Bahagia karena akhirnya menemukan angle yang pas untuk shoot. Dengan sekali gerak, aku melompat dan menembak bola dari samping dengan satu tangan. Ya, aku melakukan teknik hook shoot, salah satu teknik paling baik jika menghadapi orang yang lebih tinggi, yang tentu saja masuk dan tentu saja membuat Marco menjadi orang yang kali ini belingsatan melihatku mencetak skor.
Waktu terus berputar, dan degup jantungku berdetak cepat. Aku bisa merasakan darah mengalir dengan cepat, adrenalinku terpacu. Sial, satu poin lagi dan aku bisa menang darinya.
Tapi aku pakai teknik apalagi? aku lupa main basket!
Aku terus menggiring bola dalam bingung. Oke, oke, fokus. Fokus. Fokus!
Saat Marco berlari ke arahku, aku langsung menggiring bola dan berlari cepat. Aku sempat berharap agar keahlianku dalam berlari ditukar sementara dengan Usain Bolt. Tapi gak mungkin juga, kan?
Kupercepat langkah kaki dan dribble ku. Setelah mendekati ring sambil melompat, bisa kulihat dari sudut mataku bahwa waktu sudah menunjukan detik. Tak ambil pusing lagi, kumasukkan saja bola basket itu kedalam ring dan menghempaskan tanganku pada ringnya. Benar! Tekhnik slamdunk, tekhnik favoritku yang tentu saja sulit diikuti laki-laki tinggi.
Setelah memasukkan bola kedalam ring, suasanya yang tadinya mencekam mendadak menjadi sepi luar biasa. Jelaslah sepi, karena akhirnya waktu berakhir dan pemenangnya bukanlah Marco, seperti yang dielu-elukan laki-laki gak jelas disekitarku ini. Aku terduduk di bawah ring basket, kelelahan. Dan Marco pun melakukan hal yang sama.
Seorang Marco, lho. Seorang Marco.
Aku bangkit dan berjalan keluar lapangan, menuju arah Rasya yang kemudian menatapku dengan tatapan haru. Aku yang saat itu energinya sudah terkuras habis-habisan hanya bisa terdiam dan tersenyum saat Rasya merengkuhku dalam pelukannya. Aku balas memeluknya, dengan bonus keringat dan bau badan disekujur tubuhku.
Dalam pelukanku yang begitu lemah, aku sadar bahwa aku memang sudah jatuh cinta sungguh-sungguh pada gadis ini. Gadis yang kukenal hanya dalam kurun waktu sebulan, gadis yang bisa-bisanya ngajak main one on one pagi-pagi dengan Milo kaleng sebagai taruhan. Gadis yang katanya idola anak-anak satu sekolah, padahal mengaku bahwa akulah idolanya.
Jadi, apakah aku harus merasa spesial, bila tiba-tiba ia memelukku begini?
Ah, aku bukan orang yang spesial.
Aku orang yang beruntung.

No comments:

Post a Comment