Thursday, May 14, 2015

Kamu Tahu Sia-sia? (Cerpen)

Pernahkah kamu merasa gugup setengah mati hingga lututmu terasa lemas dan rasanya kamu tidak sanggup berdiri?

Jika kau tanya aku, aku sedang merasakannya sekarang. Di depan pintu rumah nomor 48, aku mematung. Jantungku berdegup tidak karuan. Telapak tanganku terasa dingin dan basah. Hatiku ragu, namun aku tahu aku harus melakukannya.

Sial, aku tidak tahu 'nembak' perempuan ternyata sebegini sulitnya.

Oke, oke. Aku tahu kalian semua masih menerka apa yang sedang kulakukan, jadi biar kujelaskan. Namaku Diyan Pratomo, 28 Tahun. Bekerja sebagai salah satu pegawai di perusahaan multinasional papan atas. Bisa dibilang aku laki-laki mapan dan berkecukupan. Sayangnya, aku belum punya pasangan hidup yang bisa digandeng menuju pernikahan, lantaran selama ini aku sibuk bekerja hingga tahu-tahu umurku sudah hampir kepala 3. Aku awalnya masih belum tertarik amat dengan yang namanya pacaran, mengingat disekitarku tidak ada perempuan yang kuanggap pas denganku.

Namun semua itu berubah saat di suatu pagi, hari ini setahun yang lalu, aku jatuh cinta pada seseorang.

Saat itu pukul 6 pagi. Aku sedang membalas beberapa email kantor yang belum sempat aku lihat saat tiba-tiba aku mendengar suara perempuan menyanyikan lagu The Scientist nya Coldplay yang, demi Tuhan, sangat amat indah. Suara itu datang dari halaman sebelah rumahku. Aku, yang terpesona setengah mati, langsung buru-buru berlari kearah jendela dan mendapati seorang gadis di halaman sebelah sedang menyiram pekarangan rumahnya.

Aku tahu saat itu aku langsung jatuh cinta. Apalagi ternyata selain punya suara bagus, Ia juga cantik dan cinta tanaman. (Alasan terakhir paling tidak masuk akal tapi yasudahlah. Namanya juga orang jatuh cinta, semua mendadak benar.)

Kejadian ngintip-saat-dia-siram-tanaman bukan saja terjadi sekali dua kali, ini mendadak jadi rutinitas tiap pagi. Kamu tahu, aku rela bangun jam 5 pagi hanya untuk siap-siap mendengar 'konser' paginya. Padahal sebelumnya, mana pernah aku mau bangun sebegitu awal.

Sebagai seorang laki-laki yang buta arah dan mesti dituntun dalam masalah percintaan, aku pun konsultasi dengan sahabatku yang juga merupakan 'duo intel favorit' di kalangan teman-teman kantorku, yaitu Adit dan Jepri. Melalui Adit dan Jepri serta keahlian mereka menginvestigasi sesuatu, aku tahu siapa nama gadis itu. Namanya Jana. Ia baru beberapa minggu lalu pindah kesebelah rumahku. Ia kerja sebagai salah satu editor di sebuah kantor penerbitan buku. Ia dikenal cakap dan mampu bersosialisasi. Sialnya, walaupun pandai bersosialisasi, tidak banyak orang yang tahu kehidupan pribadinya. Dan Adit Jepri tidak bisa mengorek lebih dalam karena katanya link yang mereka punya bukan link kuat, jadi tidak bisa dapat info lebih banyak.

Terimakasih lagi kepada Adit dan Jepri, 2 orang itu memberiku saran dan usul tentang apa yang harus kulakukan untuk mendekatinya dibanding hanya mengaguminya dari jauh.

Pertama, aku harus coba menanam beberapa tanaman, lalu pura-pura menyiram di pagi hari agar dia melihat dan kita saling kenal.
Aku sudah mencoba teknik ini. Sayangnya, belum sampai seminggu, tanamanku sudah mati duluan.

Kedua, beli cd album band-band yang dia suka lalu lempar ke halaman rumahnya.
Aku tidak mencoba cara ini. Bukannya tidak mau, tapi cd album harganya mahal, dan dia tidak hanya menyanyikan lagu dari satu band atau penyanyi tertentu. Jadi aku harus lempar berapa cd album???? Dan lagipula, siapa juga yang PDKT dengan cara lempar cd album ke halaman rumah orang?

Dan cara ketiga (aku bersumpah ini cara paling meyakinkan dari semua yang Adit dan Jepri usulkan), aku harus datang kerumahnya dan memberi dia semacam makanan sebagai bentuk silaturahim antar tetangga.
Untungnya saat itu aku bernasib mujur. Ia mau menerima makanan dariku. Dan oh, sial. Dia benar-benar tampak cantik dari dekat. Sudahlah cantik, Ia juga baik dan sangat anggun.
Makin jatuh hati, kan.

Semenjak memberikannya makanan, bisa dibilang aku cukup kenal dengannya. Pernah sekali aku keluar rumah dan menyapanya saat Ia sedang menyiram tanaman. Aku basa-basi tanya ini itu tentang bunga mawar karena Ia punya berpot-pot tanaman mawar. Ia menjawab semua pertanyaanku dengan sorot mata hangat yang begitu menyilaukan. Arrghh sial, kenapa cantik banget sih?!

Masih banyak lagi pembicaraan yang terjadi antara aku dan Jana di pagi hari saat Ia menyiram. Dan tanpa sadar aku sudah melewati 1 tahun semenjak pertama aku melihatnya.

Dan di hari ini, aku siap menyatakan perasaanku.

Aku menekan bel rumah nomor 48 dengan perasaan tidak karuan. Doaku tidak putus-putusnya kupanjatkan pada Yang Maha Kuasa untuk melancarkan prosesi tembak menembak ini. Ya Tuhan, apakah akan berhasil?

Pintu rumah itu terbuka. Jana keluar dan tersenyum saat melihatku.
Ya Tuhan, lancarkanlah.

"Pagi, Jana."
"Pagi juga Mas Diyan."

Sial. Mendengarnya memanggilku Mas Diyan, jantungku mau copot dan lalu lari-lari keliling lapangan komplek saking senangnya.

"Ada apa pagi-pagi sampai kesini?"

Aku mengambil napas. Ayo Diyan, kamu pasti bisa.

"Gini, Jana. Saya tahu ini agak aneh dan mungkin terlalu mendadak, tapi saya suka sama kamu."

Wajah Jana yang tadinya tersenyum manis berubah jadi kaget dan serius. Aku melanjutkan ungkapan cintaku lagi. Kali ini aku berusaha lebih manis, tapi entah kenapa Jana bukannya terlihat senang, Ia malah melihatku kasihan.

"Mas Diyan, aku senang mendengar perasaan Mas Diyan...."

Pembicaraan kami terhenti karena bunyi deru mesin mobil terdengar dari pagar depan rumah Jana. 
Dari mobil itu seorang laki-laki dengan koper besar dan setelan jas turun dan berjalan ke arahku dan Jana.

"Wah, ada tamu ya rupanya?" Kata laki-laki itu sambil tersenyum. Ia menyalamiku dan lalu permisi masuk ke dalam rumah.

Oke, aku ingin bertanya siapa laki-laki itu, tapi pertanyaan tentang apakah pernyataan cintaku diterima atau tidak sepertinya terdengar lebih penting. Lagipula bisa saja laki-laki itu kakaknya.

"Jadi gimana, Jana?"

"Aku senang mendengar perasaan Mas Diyan, tapi...saya sudah 2 tahun menikah dengan laki-laki barusan. Ia baru pulang dinas luar kota...."

Oh, sial.

Dari semua kata sial yang ku sebut dalam ceritaku kali ini, aku yakin bagian tersial yang paling cocok menyanding kata sial adalah bagian ini.
Sial

Friday, April 10, 2015

Kopi Darat (Cerpen)

Aku berlari menuju ke pintu kamar sambil melepas kaus kaki dan tas ranselku. dengan terburu-buru, aku menuju ke depan layar komputer. "Bandxd, im coming!"

Hai, namaku Jia, Jiadinda Gladhi. masih kelas 1 SMA, dan sangat amat pengin punya pacar. kalian boleh salahkan teman dekatku, Sarah, karena sudah membuat ini terjadi padaku. Sarah enak-enakan pacaran sama Tony di depanku padahal tahu aku itu single, atau bahasa kasarnya, jomblo. sudah banyak banget orang yang aku liat di dunia ini, dan rata-rata orang-orang tersebut udah punya pacar. dan aku gak mau single selamanya. aku sudah bertekad, di SMA ini, aku harus punya pacar.

tapi masalahnya.......

aku kacau banget dalam urusan berhubungan sama cowok dalam urusan cinta-cintaan. 

oookkkkaaaayy just, dont judge me. aku cuma agak sedikit tertutup sama cowok. aku cuma bisa dekat dengan beberapa cowok yang udah aku kenal dari dulu atau cowok yang emang bikin aku nyaman. dan karena tahu aku punya masalah ini, aku pun berusaha untuk menyelesaikannya dengan nyari kenalan di internet. lebih tepatnya, nyari kenalan cowok di sebuah chat room bernama chatlion yang memperbolehkan para anggotanya untuk bicara via text dengan stranger, dan kita gak tau sama sekali siapa lawan bicara kita di kehidupan nyata kecuali kalau mereka sendiri yang bilang. sounds cool, right? bisa aja selama ini ternyata aku chat sama hottie. who knows????

aku udah kenalan sama banyak banget - like literally BANYAK BANGET - orang lewat chatlion, tapi menurutku orang yang paling asik itu cuma satu, yaitu orang dibalik user bandxd. kita udah mulai chat dari 5 bulan yang lalu, ngobrol-ngobrol tiap hari, terus ternyata kami nemuin banyak kesamaan, yaitu sama-sama suka musik, bands, makanan, hobi, bahkan acara tv yang bener-bener sama banget. dari yang cuma chat seminggu sekali sama si bandxdhy, lama-lama jadi rajin banget sampai jadi sehari sekali. selama 5 bulan ini, aku pun mulai ngerasa kalo kayaknya aku suka sama dia....tapi ya gitu.....dia gak pernah ngajak meet up di real life. iya, meet up. semacam kopi darat gitu, deh. dan kalo beneran pun aku bisa meet up sama dia, aku cuma takut kalau ternyata aku gak seperti yang dia harapkan. jadi, yaaah.....i will just let this flow. 

CETING-CETING! bunyi notifikasi chatlion tiba-tiba terdengar.


Beruntung (Cerpen)

Aku melewati ruang demi ruang pada koridor lantai 3 sekolahku dengan langkah tersuruk. Selain karena ini hari Senin yang merupakan hari pertama yang dihadapi setelah weekend, hari Senin juga sudah sejak lama menjadi hari sialku, karena pelajaran-pelajaran sulit bergabung jadi satu dalam jadwal pelajaran hari ini. Mungkin sengaja dipasang sebagai bentuk nyata dari kejamnya dunia? Aku gak tau pasti.
Jam dipergelangan tanganku menunjukkan pukul 5.21. wah, bahkan belum jam setengah enam? Aku pantas dinobatkan jadi murid teladan.
Karena sekolah ini masih terlalu sepi (dan aku gak mau sendirian di kelas yang gelap), aku berjalan turun lagi ke lantai dasar, melewati ruang demi ruang lain dengan tujuan pergi ke pos satpam, berniat membaca buku fisika ditemani Bang Maman, satpam andalan sekolah.
Kakiku terus melangkah menuju pos satpam saat tiba-tiba aku mendengar bunyi pantulan bola basket memasuki gendang telingaku. Kepalaku refleks beralih dari jalanan sepi di depan ke gedung olahraga di sisi kiriku. Sejurus kemudian, aku melirik ke arah pergelangan tanganku lagi. Jarum panjang masih belum berada di angka 6, dan seseorang sudah ada yang main basket disini? Sepagi buta ini?
Ah, mendadak aku ingat. Main basket jam berapapun akan terasa menyenangkan kalau memang sudah jatuh cinta. Akupun sempat mencecap indahnya jatuh cinta dengan olahraga itu. Dulu, sebelum aku masuk SMA dan jadi murid pintar pujaan para guru di sekolah (ini serius), aku pernah terjun masuk ke dalam ekskul basket SMP ku. Dan percaya atau tidak, aku ini jago. Banget. Aku bahkah beberapa kali masuk jadi pemain favorit dan memanangkan banyak perlombaan besar. Aku pun pernah punya mimpi untuk jadi pemain basket professional, yang sayangnya, sangat amat ditentang orangtuaku. Mereka pikir, jadi pemain basket itu gak menjanjikan. Tanding hanya saat musimnya, sekalinya tanding, energi dikuras habis-habisan, malah kadang stamina drop dan sebagainya. Belum lagi kalau mengalami cedera parah sampai akhirnya terpaksa pensiun dan keluar dari arena. Dapat penghasilan darimana?
Orangtuaku bahkan tidak pernah bangga atas segala kemenangan-kemenangan mutlak tim basket sekolahku karena nilai yang kucetak. Mereka tidak bangga atas semua piagam, piala, dan medali yang kubawa pulang sejak masih duduk di bangku SD. Setiap kemenangan hanya dianggap angin lalu, tak jarang mereka malah memarahiku karena dianggap aku tidak pernah belajar dan sebagainya. Kami sering bertengkar karena basket. Sering, terlalu sering. Semua kekesalan tersebut selalu kusimpan dalam hati dan ujung-ujungnya, aku selalu merasa menyesal dan minta maaf.
Sampai akhirnya, aku tak bisa lagi meminta maaf.
Tepat sehari setelah pertengkaran hebat karena kemenanganku untuk kesekian kalinya, aku dapat kabar bahwa orangtuaku mengalami kecelakaan beruntun. Kabar itu kudapat siang hari, saat masih jam-jam sekolah. Aku, Jana dan Rasyid, kakak-kakaku yang saat itu masih duduk di bangku SMA, langsung pergi ke rumah sakit dan mendapati bahwa orangtuaku sudah wafat. Sesaat kami semua terdiam. Berita itu terlalu tiba-tiba. Kulihat Jana menangis terisak, dan Rasyid terdiam lama dengan muka pucat pasi. Terlihat jelas diwajah mereka bahwa kehilangan ini menyakitkan.
Dan aku hanya bisa terduduk lemas, terdiam mengingat rentetan amarah yang meluncur dari mulutku malam sebelumnya, saat orangtuaku dan aku bertengkar habis-habisan membicarakan masa depanku.
Di saat itu, jatuh cinta pada basket adalah hal yang paling kusesali seumur hidupku.
Dan mengingatnya seperti membangkitkan rasa sakit.
****
“Radhiyan?”
Kesadaranku kembali berpijak pada kenyataan. Aku mendapati sosok perempuan cantik dalam balutan t-shirt abu-abu dan celana basket hitam sedang berdiri di ambang pintu gedung olahraga. Parasnya cantik luar biasa, walaupun wajahnya penuh oleh peluh yang membanjiri. Sesaat saja, aku pikir kesadaranku berpijak bukan pada kenyataan, namun berpijak di surga tempat malaikat-malaikat berkumpul dan dia salah satu diantaranya.
Namun ada satu hal yang paling penting dari kenyataan atau surga. Aku tidak tau siapa perempuan ini, tapi tahu darimana dia namaku?
Canggung, aku mengangguk dan tersenyum sekenanya.
“Kamu ngapain pagi-pagi buta ada di sini?”
Justru aku yang mau nanya itu.
“Hm, biasa datang jam segini, sih,” jawabku asal. Aslinya sih boro-boro. Subuh saja kadang kelewat.
“Kamu ngapain disini?” tanyaku padanya, berusaha mencairkan suasana.
Oh, bego. Jelaslah dia abis main basket kalau dilihat dari setelannya. Dasar Radhiyan bego.
“Oh, ini abis main basket.”
Tuh, kan.
Aku hanya mengangguk dan kembali berjalan menuju pos satpam, meninggalkannya yang entah kenapa malah balik lagi main basket kalau dengar dari suara pantulan bola dan decitan sepatu dengan lantai gedung olahraga. Dia mau mandi jam berapa kalau jam segini masih main basket?
Lalu aku pun terdiam. Kenapa jam mandinya anak perempuan gak dikenal itu malah tiba-tiba terasa lebih penting daripada pelajaran fisika maha dahsyat yang beberapa jam lagi kuhadapi, ya?