Friday, April 10, 2015

Kopi Darat (Cerpen)

Aku berlari menuju ke pintu kamar sambil melepas kaus kaki dan tas ranselku. dengan terburu-buru, aku menuju ke depan layar komputer. "Bandxd, im coming!"

Hai, namaku Jia, Jiadinda Gladhi. masih kelas 1 SMA, dan sangat amat pengin punya pacar. kalian boleh salahkan teman dekatku, Sarah, karena sudah membuat ini terjadi padaku. Sarah enak-enakan pacaran sama Tony di depanku padahal tahu aku itu single, atau bahasa kasarnya, jomblo. sudah banyak banget orang yang aku liat di dunia ini, dan rata-rata orang-orang tersebut udah punya pacar. dan aku gak mau single selamanya. aku sudah bertekad, di SMA ini, aku harus punya pacar.

tapi masalahnya.......

aku kacau banget dalam urusan berhubungan sama cowok dalam urusan cinta-cintaan. 

oookkkkaaaayy just, dont judge me. aku cuma agak sedikit tertutup sama cowok. aku cuma bisa dekat dengan beberapa cowok yang udah aku kenal dari dulu atau cowok yang emang bikin aku nyaman. dan karena tahu aku punya masalah ini, aku pun berusaha untuk menyelesaikannya dengan nyari kenalan di internet. lebih tepatnya, nyari kenalan cowok di sebuah chat room bernama chatlion yang memperbolehkan para anggotanya untuk bicara via text dengan stranger, dan kita gak tau sama sekali siapa lawan bicara kita di kehidupan nyata kecuali kalau mereka sendiri yang bilang. sounds cool, right? bisa aja selama ini ternyata aku chat sama hottie. who knows????

aku udah kenalan sama banyak banget - like literally BANYAK BANGET - orang lewat chatlion, tapi menurutku orang yang paling asik itu cuma satu, yaitu orang dibalik user bandxd. kita udah mulai chat dari 5 bulan yang lalu, ngobrol-ngobrol tiap hari, terus ternyata kami nemuin banyak kesamaan, yaitu sama-sama suka musik, bands, makanan, hobi, bahkan acara tv yang bener-bener sama banget. dari yang cuma chat seminggu sekali sama si bandxdhy, lama-lama jadi rajin banget sampai jadi sehari sekali. selama 5 bulan ini, aku pun mulai ngerasa kalo kayaknya aku suka sama dia....tapi ya gitu.....dia gak pernah ngajak meet up di real life. iya, meet up. semacam kopi darat gitu, deh. dan kalo beneran pun aku bisa meet up sama dia, aku cuma takut kalau ternyata aku gak seperti yang dia harapkan. jadi, yaaah.....i will just let this flow. 

CETING-CETING! bunyi notifikasi chatlion tiba-tiba terdengar.


Beruntung (Cerpen)

Aku melewati ruang demi ruang pada koridor lantai 3 sekolahku dengan langkah tersuruk. Selain karena ini hari Senin yang merupakan hari pertama yang dihadapi setelah weekend, hari Senin juga sudah sejak lama menjadi hari sialku, karena pelajaran-pelajaran sulit bergabung jadi satu dalam jadwal pelajaran hari ini. Mungkin sengaja dipasang sebagai bentuk nyata dari kejamnya dunia? Aku gak tau pasti.
Jam dipergelangan tanganku menunjukkan pukul 5.21. wah, bahkan belum jam setengah enam? Aku pantas dinobatkan jadi murid teladan.
Karena sekolah ini masih terlalu sepi (dan aku gak mau sendirian di kelas yang gelap), aku berjalan turun lagi ke lantai dasar, melewati ruang demi ruang lain dengan tujuan pergi ke pos satpam, berniat membaca buku fisika ditemani Bang Maman, satpam andalan sekolah.
Kakiku terus melangkah menuju pos satpam saat tiba-tiba aku mendengar bunyi pantulan bola basket memasuki gendang telingaku. Kepalaku refleks beralih dari jalanan sepi di depan ke gedung olahraga di sisi kiriku. Sejurus kemudian, aku melirik ke arah pergelangan tanganku lagi. Jarum panjang masih belum berada di angka 6, dan seseorang sudah ada yang main basket disini? Sepagi buta ini?
Ah, mendadak aku ingat. Main basket jam berapapun akan terasa menyenangkan kalau memang sudah jatuh cinta. Akupun sempat mencecap indahnya jatuh cinta dengan olahraga itu. Dulu, sebelum aku masuk SMA dan jadi murid pintar pujaan para guru di sekolah (ini serius), aku pernah terjun masuk ke dalam ekskul basket SMP ku. Dan percaya atau tidak, aku ini jago. Banget. Aku bahkah beberapa kali masuk jadi pemain favorit dan memanangkan banyak perlombaan besar. Aku pun pernah punya mimpi untuk jadi pemain basket professional, yang sayangnya, sangat amat ditentang orangtuaku. Mereka pikir, jadi pemain basket itu gak menjanjikan. Tanding hanya saat musimnya, sekalinya tanding, energi dikuras habis-habisan, malah kadang stamina drop dan sebagainya. Belum lagi kalau mengalami cedera parah sampai akhirnya terpaksa pensiun dan keluar dari arena. Dapat penghasilan darimana?
Orangtuaku bahkan tidak pernah bangga atas segala kemenangan-kemenangan mutlak tim basket sekolahku karena nilai yang kucetak. Mereka tidak bangga atas semua piagam, piala, dan medali yang kubawa pulang sejak masih duduk di bangku SD. Setiap kemenangan hanya dianggap angin lalu, tak jarang mereka malah memarahiku karena dianggap aku tidak pernah belajar dan sebagainya. Kami sering bertengkar karena basket. Sering, terlalu sering. Semua kekesalan tersebut selalu kusimpan dalam hati dan ujung-ujungnya, aku selalu merasa menyesal dan minta maaf.
Sampai akhirnya, aku tak bisa lagi meminta maaf.
Tepat sehari setelah pertengkaran hebat karena kemenanganku untuk kesekian kalinya, aku dapat kabar bahwa orangtuaku mengalami kecelakaan beruntun. Kabar itu kudapat siang hari, saat masih jam-jam sekolah. Aku, Jana dan Rasyid, kakak-kakaku yang saat itu masih duduk di bangku SMA, langsung pergi ke rumah sakit dan mendapati bahwa orangtuaku sudah wafat. Sesaat kami semua terdiam. Berita itu terlalu tiba-tiba. Kulihat Jana menangis terisak, dan Rasyid terdiam lama dengan muka pucat pasi. Terlihat jelas diwajah mereka bahwa kehilangan ini menyakitkan.
Dan aku hanya bisa terduduk lemas, terdiam mengingat rentetan amarah yang meluncur dari mulutku malam sebelumnya, saat orangtuaku dan aku bertengkar habis-habisan membicarakan masa depanku.
Di saat itu, jatuh cinta pada basket adalah hal yang paling kusesali seumur hidupku.
Dan mengingatnya seperti membangkitkan rasa sakit.
****
“Radhiyan?”
Kesadaranku kembali berpijak pada kenyataan. Aku mendapati sosok perempuan cantik dalam balutan t-shirt abu-abu dan celana basket hitam sedang berdiri di ambang pintu gedung olahraga. Parasnya cantik luar biasa, walaupun wajahnya penuh oleh peluh yang membanjiri. Sesaat saja, aku pikir kesadaranku berpijak bukan pada kenyataan, namun berpijak di surga tempat malaikat-malaikat berkumpul dan dia salah satu diantaranya.
Namun ada satu hal yang paling penting dari kenyataan atau surga. Aku tidak tau siapa perempuan ini, tapi tahu darimana dia namaku?
Canggung, aku mengangguk dan tersenyum sekenanya.
“Kamu ngapain pagi-pagi buta ada di sini?”
Justru aku yang mau nanya itu.
“Hm, biasa datang jam segini, sih,” jawabku asal. Aslinya sih boro-boro. Subuh saja kadang kelewat.
“Kamu ngapain disini?” tanyaku padanya, berusaha mencairkan suasana.
Oh, bego. Jelaslah dia abis main basket kalau dilihat dari setelannya. Dasar Radhiyan bego.
“Oh, ini abis main basket.”
Tuh, kan.
Aku hanya mengangguk dan kembali berjalan menuju pos satpam, meninggalkannya yang entah kenapa malah balik lagi main basket kalau dengar dari suara pantulan bola dan decitan sepatu dengan lantai gedung olahraga. Dia mau mandi jam berapa kalau jam segini masih main basket?
Lalu aku pun terdiam. Kenapa jam mandinya anak perempuan gak dikenal itu malah tiba-tiba terasa lebih penting daripada pelajaran fisika maha dahsyat yang beberapa jam lagi kuhadapi, ya?