Aku duduk di kursi kantorku sambil
meregang-regangkan badan. hari ini terasa sangat lelah dan panjang, kepalaku
pusing dan sepertinya badanku akan remuk dalam hitungan detik karena
mengerjakan banyak sekali pekerjaan. aku melirik ke jam di pergelangan tanganku
yang sudah menunjukkan pukul 20.21. astaga, sepertinya aku keasyikan
mengerjakan pekerjaan kantor sampai-sampai tidak sadar sekarang sudah jam
segini. pantas saja rasanya dari tadi perutku keroncongan. aku melihat ke
sekelilingku, disana juga sudah sepi. hanya ada aku, dan 2 temanku yang lain,
Malik dan Arif. terdorong oleh rasa lapar yang semakin mengkhawatirkan,
akhirnya aku memutuskan untuk pergi beli makanan ke kafetaria di lantai bawah
yang makanannya terkenal enak dan pas dengan uangku. tapi......jam segini masih
buka gak ya?
"Rif, Lik, kafetaria masih buka gak sih?
gue laper nih," tanyaku pada Arif dan Malik yang sedang sibuk berkutat
dengan layar komputer.
"Kayaknya masih," kata Arif sambil
melihat ke jam dinding.. "Lo mau kesana, Yan? kalo lo mau, gue ikut ya.
laper banget nih gue."
"Oh, oke. Lik, lo mau ikut gak?"
Malik menggeleng dan menunjuk sebuah kotak makan
didepannya. "Gue dibawain makanan tadi sama Vina. hehehe."
"Beh, enak ya kalo punya pacar....makan mah
tiap hari dibawain terooos," ledek Arif dengan tatapan jail.
"Iyelah, emang lu, jomblo gak
laku-laku."
Karena tidak terima dibilang gak laku-laku,
akhirnya Arif balas ejek. dan hanya dalam hitungan detik, mereka berdua sudah
terlibat dalam adu mulut sengit yang membahas masa kesendirian Arif dan masa
berpacaran Malik. aku, yang saat itu sudah benar-benar lapar tidak tertolong,
akhirnya menarik lengan kemeja Arif dan menyeretnya menuju ke lift.
"Kok lu narik gue sih? gue kan lagi mau
bales kata-katanya Malik, Yan!" seru Arif dengan tatapan sewot.
"Gue laper, Rif. lagian cuma gara-gara si
Malik dibawain makanan aja masa lo sampe berantem," kataku sambil memencet
angka 1 di lift. "lo ngiri ya sama dia gara-gara diperhatiin cewek?"
tanyaku spontan pada Arif. Arif terdiam, lalu ia menggulung lengan
bajunya.
"Yah, kalo dibilang gitu sih, siapa juga
yang gak ngiri, Yan. gue kan baru-baru ini diputusin pacar. makanya kalo
ngeliat si Malik mesra banget sama si Vina, pacarnya yang cakep banget itu, gue
jadi rada-rada inget kenangan gue sama mantan gue........"
Yaelah, si Arif. dia pake segala curhat dulu.
Biasanya disaat-saat si Arif atau Malik punya
masalah dengan kehidupan mereka, aku akan mendengarkan segala kendala dan
masalah yang mereka hadapi, lalu aku sebisa mungkin memberi solusi yang
kali-kali aja bisa membantu. tapi kalo soal masalah cinta dan segala
tetek-bengeknya — kayak yang lagi dihadapin si Arif sekarang — aku kayaknya gak
bisa bantu banyak.
Dibanding Arif dan Malik, akulah yang paling
sering dan paling lama menjomblo. Arif terakhir punya pacar kalau tidak salah
sebulan yang lalu. sementara Malik, sampai sekarang cintanya masih bersemi
dengan Vina. lalu disini ada aku yang bahkan tidak ingat kapan terakhir kali
punya pacar. hm, rasanya benar-benar sudah lama sekali aku tidak memberi atau
diberi perhatian khusus oleh perempuan. saking lamanya, kalah kali jaman
neolitikum.
"Rif, gue gak yakin kali ini gue bisa
ngasih solusi dalam masalah gagal move on lo. lo tau sendiri kan, gue ini juga
gak punya pacar. malah gue menjomblo lebih lama dari pada lo," kataku yang
lalu memesan ayam, nasi, dan es jeruk ke Mbak Lisna, pelayan di
kafetaria.
"Gue gak minta lo untuk ngasih solusi kok,
gue cuma mau lo dengerin cerita soal masalah kesendirian gue, Yan."
"Oh, oke. kalau cuma dengerin sih gue bisa.
tapi imbalannya ap-"
BRUK!! tanganku tidak sengaja menyenggol sebuah
tas yang kemudian isinya berhamburan di lantai. sadar bahwa tas itu aku yang
jatuhkan, akhirnya aku membungkukkan badan dan memunguti isi tas yang
berhamburan tersebut. ada dompet, lipstik, jam tangan, dan sebuah id card
dengan lambang berbentuk wajik.
"You don't have to do that," kata
seorang Perempuan yang sedang berdiri disampingku. hm, sepertinya dia pemilik
tas yang aku jatuhkan. kok ngomongnya pake bahasa inggirs? orang asing ya?
Aku lalu melihat ke arah datangnya suara dan
langsung terperangah. benar apa kataku, dia memang orang asing. lebih tepatnya,
cewek bule yang cantik sekali. saking cantiknya, aku sendiri sampai terhipnotis
dan gak bisa ngomong apa-apa.
perempuan itu tampil dengan pakaian casual yang sederhana. cukup jaket warna
navy blue, kaos putih polos, jeans, topi abu-abu, dan sneakers. astaga. hanya
dengan pakaian sesimpel itu saja aku bisa sampai terkesima begini. gimana kalo
misalnya nanti dia pake baju pengantin dan berdiri di sebelahku...pasti lebih
cantik lagi.
Sejurus kemudian, tangan wanita itu menengadah,
meminta padaku barang-barang yang aku pungut tadi. aku memberikannya, masih
dengan tatapan terhipnotis.
"You are such a nice guy," katanya
sambil tersenyum. "Terima kasih ya." Sosoknya lalu pergi menjauhiku
dan keluar dari pintu kafetaria. Ya Tuhan....perempuan tadi cantik
sekali......
"Yan, itu makanan lo udah siap. Yan? Ryan?
hoooy Ryaaaaaan!!!"
Aku menengok ke arah Arif dan langsung menepuk
pundaknya. aku memasang wajah paling dramatis dan paling ganteng yang kumiliki,
sambil berkata pada Arif satu kalimat penuh harapan.
"Rif, bisa tolong ajarin gue cara
dapetin cewek?"
****
Keesokan harinya, saat baru sampai di kantor,
tanganku tiba-tiba ditarik dan tubuhku dihempaskan di sofa oleh Arif dan Malik.
hei, hei. ada apa ini? acara penyambutan karyawan baru kan sudah lama. lagian
aku juga bukan karyawan baru. terus, ini maksudnya apaan?
"Jadi, lo suka sama cewek yang kemarin
tasnya lo jatuhin di kafetaria?" tanya Malik sambil menatapku serius. oh,
soal semalam. mengerti dengan apa yang mereka katakan, aku pun mengangguk.
tentu saja, siapa sih manusia yang gak suka sama cewek berwajah malaikat kayak
begitu?
"Terus, dia itu orang bule dan lo gak tau
nama dia siapa?" kali ini giliran Arif yang bertanya. dan untuk yang kedua
kalinya, aku pun mengangguk.
"Yaelah Yan....kalo kayak gitu mah susah
dapetnya, Sob," kata Malik sambil memasang tampang kecewa. "Lo gak
tau gitu dia orang apa, kerja dimana, atau tinggal dimana?"
Aku menggeleng. "Ya engga lah, Lik. gue
ketemu juga baru kemarin. sumpah ya, lo kalo ngeliat wajah dia juga pasti bakal
jatuh cinta. cantik banget kayak bidadari!!"
Malik dan Arif lalu mendecakkan lidah secara
berbarengan. Hei, kenapa mereka jadi kompak banget gini sih?
"Secantik apapun dia, sebidadari apapun
dia, kalo misalnya lo gak tau nama dan hidupnya dia kayak apa, ya lo gak bakal
bisa pdkt, Yan." kata Arif dengan tatapan yang sama kecewanya dengan
Malik. "Tapi tenang aja, gue dan Malik akan sebisa mungkin bantu lo
dapetin cewek itu. sini, kasih tau gue apa aja ciri-cirinya dan sebisa mungkin
bakal gue cariin."
Aku pun menyebutkan semua ciri-ciri yang
dimiliki si cewek-cantik-bagai-malaikat itu. gaya rambut, gaya berpakaian,
kata-katanya, pokoknya semua yang kemarin terjadi. saat sedang dimintai
keterangan ini itu, sebuah pertanyaan pun muncul di benakku.
"Apa yang dia lakukan di kantorku sampai
jam 8 malam? bukankah setahuku batas penerimaan tamu untuk masuk ke kantor ini
hanya sampai jam 5? lalu, dia ngapain kesini?"
"Hei kalian bertiga!" kata suara di
belakang kami. "Kalian bukannya kerja, malah asyik-asyikan duduk di sofa.
sana, kerjain kerjaan kalian!" seru Pak Andi, bos kami yang terkenal galak
dan disiplin. "kalian gak tau ya, wartawan kita ini lagi pada ngejar
informasi dan berita ngomongin soal acara-acara penting yang lagi di adakan di
Jakarta. mereka udah kasih laporan, tinggal kalian benerin aja. sana, kerja kalian
kerja!!"
Aduh, Pak Andi sialan. gara-gara dia, pencarian
dan interogasi mengenai si cewek-cantik-bagai-malaikat harus terhambat. kami
bertiga pun kembali duduk di masing-masing kubikel dan langsung berkutat dengan
komputer dan segala kerjaan yang menyiksa ini. uh, tenang saja malaikatku,
sebentar lagi aku pasti tau siapa dirimu sesungguhnya. sebentar lagi.
***
"Lea, hadap sini....ya, ya, ekspresinya
bagus sekali. senyum sedikit, Lea......yak, selesai!"
"Huaaah!" seruku yang kemudian segera
berdiri dari tumpukan-tumpukan coklat dan surat cinta di sekelilingku.
pemotretan kedua untuk hari ini akhirnya selesai juga. lelah aku rasanya
daritadi harus menahan nafas dan tersenyum saat di potret.
Namaku Aleana Dean Davinch, namun lebih terkenal
dengan nama Lea Davinch. aku blasteran Indonesia-Inggris. Papaku orang Inggris
dan Mamaku orang Bali. aku tinggal di London dengan kedua orang tuaku, tapi
lebih sering bermalam di Milan karena semua pekerjaanku ada di sana. aku
seorang model yang sering pergi ke negara-negara lain di dunia untuk mengikuti
pagelaran busana disana-sini. berjalan di catwalk, di foto oleh fotografer
ternama, serta melihat fotoku terpampang di billboard sudah menjadi hal yang
biasa bagiku. sekarang pun aku sedang di tanah kelahiranku, Indonesia, untuk
menjadi model runway di acara Fasion Week di Jakarta. dan wajahku pada
pemotretan kali ini akan di tulis di koran serta majalah lokal dengan judul
"The Face of Fashion Week Runway" nice, huh?
Kalau boleh jujur, sebenarnya kepulangan
sementaraku ke Indonesia ini agak bikin malas. bukan karena negaranya,
orang-orangnya, politiknya yang menyebalkan, atau makanannya yang selalu jadi
favoritku. hanya saja, Indonesia selalu mengingatkanku akan seseorang yang tega
menolakku dengan alasan 'Lo gak cantik sama sekali'. okay, i know it sounds
silly and too childish, tapi aku memang benci orang-orang seperti itu. dan demi
apapun, Indonesia adalah tempat dimana semua lelaki brengsek berkumpul. tidak,
mungkin sebenarnya hanya sekolahku saja yang penuh laki-laki brengsek. karena
dari mulai awal masuk SMP sampai masuk SMA, aku tidak pernah sekalipun punya
pacar. semua laki-laki disana menganggapku tidak masuk ke daftar 'primadona
sekolah' karena aku selalu tampil dengan dandanan 'kuno'. dan laki-laki yang
dulu kusukai setengah mati itu tega-teganya menolakku demi mati-matian mengejar
cewek-cewek populer berotak dangkal. sedih sekali, bukan?
Karena kesal di tolak dengan alasan 'gak
cantik', aku memberanikan diriku untuk ikut modelling sesudah lulus SMA. karir
kemodelanku sebenarnya bisa jadi ajang balas dendam juga sih, mengingat aku
masuk ke dunia itu karena ingin tampil cantik. untungnya, Mamaku mendukung
sekali karirku sebagai model (karena dia juga dulu mantan model...haha, benar
juga kata orang, ya. buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya). Yah, aku
memang sudah tidak menyimpan perasaan apa-apa lagi pada laki-laki yang dulu
menolakku itu. tapi perasaan benciku pada laki-laki sepertinya masih mengakar
kuat. mungkin itu lah alasan mengapa aku belum punya pacar sampai sekarang...
Tiba-tiba pundakku ditepuk oleh seseorang yang
ternyata Alexis, manajerku yang sudah setia bersamaku selama hampir 2 tahun.
"Lea, nice photo shoot today. oh iya, kamu lapar? ini aku bawakan kamu
makanan. terus habis makan, nanti ada wawancara dengan radio lokal. lalu
setelah itu, akan ada pengarahan dari panitia dan kru Fashion Runway. lalu
habis itu-"
"Oh my God, Alexis, could you please stop
talking? aku capek, nih, dari kemarin foto-foto terus untuk majalah
ini-itu," keluhku yang lalu mengenakan baju berpola floral dan rok pastel
untuk pemotretan selanjutnya
"Ya namanya juga kerja, Lea. apalagi kamu
ini 'The Face' of this Fashion Week Runway. jelas lah kalau pekerjaanmu jauh
lebih banyak dari model yang lain. tapi tenang aja, besok kan kamu udah bisa
balik ke Milan," kata Alexis yang sedang sibuk menulis jadwal kerjaku di
memonya. "Oh iya, gimana kemarin wawancara dengan Majalah Eternity? ada
masalah?"
Aku menggeleng pelan. "Soal wawancaranya
sih baik-baik saja, tapi aku harus lewat pintu belakang gara-gara kantor mereka
gak terima tamu diatas jam 5. aneh dan tidak profesional sekali kantor
itu."
Alexis tertawa sambil membukakan kotak makanan
yang ia bawakan untukku. "Itu sih salah kamu, kemarin kan kamu beli
oleh-oleh ini itu sampai lupa waktu."
"Ya tapi tetap saja kan....," kataku
tidak mau kalah. "Oh iya, kemarin di kantor majalah Eternity, aku ketemu laki-laki
baik banget, deh."
"Oh ya? siapa?"
Aku mengendikkan bahuku. "Aku juga gak tau
nama dia siapa. tapi kemarin dia mau ngambilin barang-barangku yang jatuh,
padahal aku udah bilang gak usah."
"Hooo, is he a nice guy? i mean,
physically?" tanya Alexis lagi.
Aku mengangguk semangat. "Wajahnya sih
lumayan. setidaknya dia bisa lah mengurangi tingkat ketidak percayaanku pada
laki-laki Indonesia."
"Ah sudahlah, Lea. kamu makan dulu nih
makanannya. Indonesia itu baik, kok. kalau tidak baik, mana mungkin Papamu bisa
nikah sama Mamamu di Indonesia...."
Aku tersenyum mendengar perkataan Alexis.
kuambil kotak makanan ditangannya dan kumakan makanan khas Indonesia itu dengan
nikmat.
Life's good.
***
Sudah 6 hari berlalu sejak pertemuan kami, dan
sampai sekarang aku belum tahu siapa nama si cewek-cantik-bagai-malaikat itu.
Arif dan Malik sudah mencari kesana kemari bahkan sampai browsing ke internet,
tapi gak ada satupun informasi yang mereka dapatkan alias nihil. kandas
sudahlah harapanku bisa punya pacar lagi. lebih tepatnya, punya pacar orang
bule yang cakepnya mengintimidasi dan semena-mena kayak malaikat.
"Sudahlah, Yan. gak usah lemes gitu. cewek
yang orang Indonesia juga banyak kok. lo mau gue kenalin ke temen-temen gue
yang oke?" ucap Malik sambil memakai sepatu hitamnya sehabis Sholat
Jumat.
"Kalo gue maunya dia, ya selamanya gue
maunya dia, Lik," kataku tegas.
"Sudah-sudah, gimana kalo hari Minggu nanti
lo ikut gue sepeda-sepedaan pas Car Free Day? gue bawa sepeda lipat gue nih,
soalnya gue tau lo pasti gak punya sepeda sob, hehehe, nanti gue masukin deh ya
di bagasi mobil lo. besok jemput gue di rum-"
"Hei, Ryan!" panggil seseorang di
belakangku, menghentikan kata-kata ajakan dari Arif barusan. eh, lho, itu kan
Pak Andi?
"Kenapa, Pak?" ucapku seraya
mendekatinya. tumben-tumbenan Pak Andi manggil, apa kinerjaku selama ini
memburuk karena kebanyakan mikirin si cewek-cantik-bagai-malaikat? Aduh, jangan
sampai deh.
"Saya baru dapat telepon dari Fani, salah
satu wartawan majalah kita. katanya partner kerja dia gak bisa datang karena
mendadak sakit. saya sudah telepon semua wartawan majalah kita, tapi mereka
semua juga sedang meliput, Yan."
Aku terbengong-bengong mendengar kata-kata Pak
Andi. oh, jadi partner kerja Fani gak bisa dateng karena sakit ya. terus,
disini hubungannya sama aku apaan? aku kan bukan wartawan.....
"Lalu? kenapa Bapak manggil
saya?"
"Gini, Yan. Saya minta kamu jadi partnernya
si Fani dulu untuk sementara waktu. kamu mau
kan?"
DUAAAAAARRRRR!!!! bumi gonjang ganjing langit
terbelah dua awan meneteskan air mata. apa-apaan ini?!!?!?
ini maksudnya Pak Andi nyuruh aku jadi wartawan
sementara tuh apa sih? dulu aku pernah jadi wartawan di salah satu majalah, dan
demi apapun itu gak enak sama sekali. aku harus pergi kesana kesini ngejar
berita. mending kalo berita datengnya sopan, lah ini, aku lagi tidur
enak-enaknya terus mesti bangun jam 3 pagi buat ngejar berita kasus korupsi.
sudah di bangunin secara gak sopan, eh sesampainya di lapangan, aku harus desek-desekan
disana sini. dulu sih pas jadi wartawan, partner kerjaku selalu cowok, jadi gak
ribet. nah kalo sekarang sama Fani yang notabenenya adalah seorang cewek
rempong, pasti bakal ribet banget ngurusin semuanya. gila,ogah bener aku jadi
wartawan lagi.
"Pak, tapi saya kan bukan wartawan, masa
saya-"
"Kamu mau jadi wartawan untuk hari ini saja
atau gaji bulan ini gak kamu terima?" ancam Pak Andi sambil melipat kedua
tangannya dan memberiku tatapan ala-ala Chef Juna; tajam dan menakutkan.
sungguh, orang ini terlalu menyebalkan. tapi yah....daripada gaji bulan ini gak
aku terima, jadi aku iyakan saja permintaan Pak Andi dengan ikhlas - gak
ikhlas. dalam hitungan menit, aku langsung pergi melesat keluar dari kantor dan
pergi ke tempat acara yang akan aku liput bersama Fani, sebuah acara yang —
pastinya — gak akan terdengar menarik untukku.
.....Fashion Week Runway.
***
"Hello, Lea. how's your day here in
Indonesia?"
"Well, it was......cool. i have so many fun
activities here, i love to be in Indonesia again. too bad i am going to leave this country tonight," kataku sambil tersenyum ramah kepada Ferguson, juru
riasku di hari terakhir pergelaran acara Fashion Week Runway ini. fun? fun
activities, i said? its not even fun at all. satu minggu aku di wawancara
segala wartawan, di foto para fotografer majalah, serta berlenggak lenggok di
catwalk, dan semua hal melelahkan lainnya. gak ada yang bisa di bilang fun dari
itu semua. untung aja hari ini segala pekerjaanku yang menyangkut Fashion Week
Runway akan segera selesai. pukul 11 malam nanti, aku akan menuju bandara
Soekarno-Hatta untuk pergi kembali ke Milan dan hidup dengan normal setidaknya
selama satu minggu. no crazy interview, no crazy photo shoot, no crazy catwalk,
and no fashion show.
"Really? but you look tired," ucap
Ferguson seraya menggelung rambutku. "Seriously, Is there anything wrong
with you, dear?" kata Ferguson lagi. kali ini ia menambahkan wajah dan
nada khawatir pada setiap kata-katanya. ugh. aku paling gak suka dikhawatirin
kayak gini. aku kan baik-baik saja. setidaknya, aku bersyukur aku masih sehat
walau diberi segala alasan untuk menjadi gila selama di Jakarta ini.
"I am fine, Ferguson. i am seriously
fine."
Lalu tiba-tiba tirai make up room dibuka, dan
muncullah salah seorang kru dari Fashion Week Runway. "Lea, kamu sudah
siap?"
Aku mengangguk padanya, berterima kasih pada
Ferguson, dan langsung pergi menuju ke barisan para model Fashion Week Runway.
aku melirik ke arah jam di dinding. pukul 19.00. sebentar lagi, sebentar
lagi....
***
"Fan, sampai kapan kita harus berdiri
disini? gue bosen, nih," tanyaku pada Fani yang sedang sibuk mencatat dan
menekan tombol-tombol angka di ponselnya.
"Astaga, Ryan. pertanyaan itu kayaknya udah
ribuan kali ya lo tanyain ke gue. harusnya lo juga tau kalo jawaban gue akan
selalu sama, yaitu gue gak tau." ujar Fani sewot. tuh kan bener, kerja
sama cewek-cewek macam Fani itu ribet.
Beberapa menit setelah aku disewotin, Fani pun akhirnya bicara. "Nih Yan, jadi nanti kita foto beberapa model di catwalk dan
wawancarain perancang baju dan model-modelnya. disini gue aja yang wawancara,
lo ambil gambarnya aja."
Yaelah, ambil gambar doang? kalo gitu aja sih,
gue bisa.
Acara Fashion Week Runway pun dimulai.
model-model berlenggak lenggok di atas catwalk dengan mengenakan pakaian
bermerk terkenal yang penuh dengan seni Fashion yang sama sekali gak aku
mengerti. baju kok bolong gitu di pundaknya? aneh bener. dan ada juga yang
pakai topi yang hiasan bulunya lebih besar daripada topinya sendiri. apanya
yang seni, sih?
Pukul 22.00, aku dan Fani masih sibuk wawancara
dan mengambil gambar orang-orang terkenal (yang lagi-lagi gak aku ketahui sama
sekali). satu dua model kami wawancarai, salah satunya Anastasia. wawancara
dengannya cukup menarik, dan Fani terlihat sangat senang untuk bicara
dengannya. aku yang lagi-lagi gak mengerti pembicaraan mereka cuma bisa ngambil
gambar keadaan sekitarku saja. dan pas lagi asyik-asyiknya ngambil gambar,
lensa kameraku menangkap pemandangan yang sangat amat mengejutkan.
Si cewek-cantik-bagai-malaikat milikku ada
disana, persis beberapa meter di depanku!!
Aku menepuk pundak Fani berkali-kali, berniat
untuk menanyakannya tentang siapa nama si cewek-cantik-bagai-malaikat itu,
tapi Fani tidak menghiraukanku dan malah asyik ketawa-ketiwi sambil wawancarain
Anastasia. aduh, Fanii!
"Fani? Fani? FANI??!?!?!?" aku terus
memanggil Fani sambil terus menepuk-nepuk pundaknya berkali-kali. alah bodoamat
deh kalo sakit, yang penting aku harus tau siapa nama cewek itu!
"Aduh, apaan sih, Yan? jangan bilang ke gue
kalo lo sekarang bosen?!"
Aku mengalihkan pandanganku sebentar untuk
memastikan bahwa si cewek-cantik-bagai-malaikatku masih ada. dan untungnya masih.
"Fan, lihat, cewek yang disana, yang cantik
banget itu....liat gak lo?" tanyaku ke Fani.
"Ah, yang mana sih, Yan? orangnya banyak
banget, nih!"
"Yang itu Fan yang itu yang mukanya
bersinar-sinar paling cantik! yang pakai gaun hitam!! ah lo tau gak sih siapa
namanya?!" seruku berkali-kali. Ya Tuhan, aku panik setengah mati. dan aku
jadi jauh lebih panik lagi pas liat si cewek-cantik-bagai-malaikatku udah
gak ada di sana, melainkan berjalan menuju ke backstage.
"FAN! YANG ITU FAN, YANG ITU, YANG JALAN
MAU KE BACKSTAGE! FAN!!"
"Hey, what are you actually looking
at?" ujar salah seorang dibelakangku dan Fani, membuyarkan kepanikanku
untuk sementara. oh, ternyata si Anastasia. yaelah, Anastasia, kepo bener sama
urusan aku. dia juga pasti kan gak bakal tahu siapa cewek malaikat itu kan?
...
...
...
...
Eh, tunggu.
Anastasia kan model Fashion Week Runway juga.
bisa aja dia tau soal si cewek malaikat itu! bener juga, ya. AH, KENAPA GUE GAK
KEPIKIRAN DARI TADI?!
"Anastasia, could you tell me the name of
that model? that one with long black dress? do you know the name?" tanyaku
tidak sabar sambil menunjuk-nunjuk ke arah backstage.
"You don't have to point the backstage, i
know that girl already," ujar Anastasia sambil tersenyum. "She is
Lea, Aleana Dean Davinch, the face of this fashion week. She is the only model
who is wearing black dress on this Fashion Week Runway."
Oh, Aleana Dean Davinch, my angel!
"Well, thank You Anastasia, I'm coming to
the backstage" kataku sambil buru-buru memasukkan kamera ke tas, berniat
mengejar si cewek-cantik-bagai-malaikat, a.k.a Aleana Dean Davinch
sekarang juga.
"Wait!! You couldn't do that, Ryan!"
.............Hah?
Maksudnya aku gak bisa ngejar dia apaan?
"But why? i have something to tell to her,
and i don't want to lose her anymore."
Dahi Anastasia berkerut, terlihat sekali kalau dia agak bingung dengan pertanyaanku barusan. namun, dia
tetap menjawabnya. "whatever the things you want to say to her,
you need to be fast. she is going to the Airport, her flight is at 11 pm."
"Where is she going to?" kali ini
giliran Fani yang bertanya.
"Milan, i guess? she lives there with her
works. or maybe London to meet her parents? i don't exactly
know."
Hah? Milan? London? Buset, jauh amat! aduh kalau
gak dikejar sekarang, bisa-bisa aku kehilangan jejaknya lagi! saat itu aku
berpikir, aku harus lebih cepat. Tanpa peduli kata-kata Anastasia, aku
berlari menuju ke backstage secepat kilat. sayangnya, saat ingin menapaki
kakiku untuk masuk kesana, pintu menuju ke backstage terkunci dan tidak ada
seorang pun disana. kalau begini caranya, gimana bisa aku ketemu dia?!
Lagi panik-paniknya karena pintu backstage
sialan ini, tiba-tiba ponselku berdering. nomor tidak dikenal muncul di layar
gadget tersebut. ah, siapa sih yang nelpon disaat-saat kayak gini? bikin pusing
aja! tapi mau tidak mau, aku tetap mengangkat telepon tersebut.
"Halo?"
"Halo? Ryan!!" terdengar suara Fani
dari seberang line telepon. "Lo mau ngomong apa sih sama si Lea Lea
itu?!"
"Bukan urusan lo, Fan. Ngomong-ngomong lo
ngapain telepon gue?"
"Yeee...gue kasih tau ya, Anastasia tadi
baru nanya ke kru Fashion Week Runway yang lewat dihadapannya, dan katanya si
Lea Lea itu udah menuju ke bandara!"
"Apa?! lo gak bohong kan?!" tanyaku
tidak percaya.
"Ya engga lah! orang tadi gue juga denger
si kru nya ngomong langsung kok! sekarang kasih tau gue, ada urusan apa lo
sebenernya sama dia?"
Kalau Fani udah bilang begitu, gak mungkin aku gak
percaya sama dia. dan itu artinya, aku harus lebih cepat lagi. aku harus kejar
dia ke bandara yang jaraknya lumayan jauh dari gedung Fashion Week Runway ini.
tapi, demi cinta, aku harus lebih cepat.
Aku. harus. lebih. cepat.
"Fan, lo izinin gue ke bandara dan
ninggalin pekerjaan ini sebentar, gak? gue bener-bener harus ngomong sesuatu
sama Lea," kataku penuh harap.
"Okay, gue bolehin. tapi kasih tau gue dulu
lo ada urusan ap-"
"Oke, makasih, Fan!" buru-buru aku
memutus telepon tersebut. aku kemudian berlari menuju lift, turun ke basement
dan menuju mobilku. dalam hitungan menit, mobilku sudah membelah jalanan malam
Jakarta yang cukup padat.
Aku terlalu sibuk menginjak pedal gas dan
melewati tol demi tol, dan tanpa kusadari, bensin mobilku sudah mencapai angka
paling awal dari bilangan cacah, alias nol. kepanikanku bertambah, mengingat
sebentar lagi pukul 23.00 dan perjalananku menuju ke bandara tinggal beberapa ratus meter lagi. walaupun begitu, aku cukup memiliki kesadaran untuk tidak
berjalan atau berlari, karena aku tahu, sekencang apapun kakiku berusaha
melangkah, aku tidak akan lebih cepat dibanding laju jarum jam. aku keluar dari
mobilku dan berusaha mencari satu taksi kosong yang kuharap bisa membawaku ke
tempat si cewek-cantik-bagai-malaikatku. namun hasilnya nihil. tidak ada
satupun taksi kosong, yang ada hanyalah pengharapan dan semangatku yang hampir
habis. ah, andai saja ada sebuah kendaraan yang bisa membuatku sampai
kesana.....
lalu tiba-tiba ponselku berdering. alah, kenapa
sih disaat-saat panik, ponselku terus berdering kayak tadi dan sekarang?
"Halo?"
"Halo!! Aaah my baby Ryan!"
hanjis, my baby Ryan katanya? idih, yang
manggil-manggil aku kayak homo gini sih udah pasti si Arif, tanpa lihat caller
id nya juga aku tahu. ngapain lagi nih anak telepon-telepon malem-malem
begini?!
"Eh Yan, lo jadi kan ikut sepedaan pas Car
Free Day hari Minggu besok? gue udah nelepon temen-temen cewek gue yang oke-oke nih, besok
gue kenalin ke lo deh," katanya sambil cengengesan. "Lo gak usah
khawatirin apa-apa lagi, gue udah ajak semua temen-temen gue, terus gue juga udah taruh sepeda lipet gue kan di bagasi lo. tenang aja, Yan. acaranya pasti bereeeeesss!"
EH BUSET DAH SI ARIF. aku pikir dia nelepon buat
apaan, gak taunya ngasih tau soal acara hari Minggu. masih dua hari lagi juga.
lagian, sok sehat banget dia ngajakin naik sepeda segala. mending juga bisa....
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...EH.
WAIT.
sepeda???
selama ini ada sepeda di bagasi mobilku?!
KENAPA GAK AKU PAKAI DARI TADI?!?!?!?!!?!?
***
"Ah, Fashion Week Runway has finished
today!" seru Alexis sambil mengangkat koper kecilnya turun dari mobil kru
Fashion Week Runway.
"Ya, akhirnya selesai juga kerjaanku di
Jakarta," kataku sambil melihat jam di pergelangan tanganku.
"Huff....sebentar lagi kita ke berangkat ke Milan. mungkin gak kalau si
laki-laki baik itu kesini?"
"Laki-laki baik? maksudnya, si laki-laki
yang kamu temui di gedung redaksi majalah Eternity? ya ampun Lea, kamu serius
suka sama dia?" tanya Alexis dengan tatapan tidak percaya. aduh Alexis,
kamu kira aku bercanda pas aku bilang dia baik dan wajahnya lumayan?!
"I have to say this, Lea, tapi aku rasa, dia gak mungkin kesini. dia
juga kayaknya gak tau kalau kamu sekarang akan menuju ke Milan, kan kamu cuma
ketemu dia sekali, dia tahu namamu aja mungkin eng-"
"ALEEAAANNAAA DEEEAANN
DAAAAVVVVIIIINNCCCCH!!!!" tiba-tiba terdengar suara lantang seseorang yang
memanggil nama lengkapku, di bandar udara sebuah kota yang bukan merupakan
tempat tinggalku. itu siapa? kru majalah yang ingin wawancara? atau kru Fashion
Week Runway yang ingin mengembalikan barang bawaan kami yang tertinggal? alah,
masa iya sampai tahu nama lengkapku? kayaknya gak mungkin. kalau
begitu...siapa?
Dari tempat asal suara, aku melihat seseorang
menghempaskan sebuah sepeda ke permukaan tanah di luar bandara Soekarno-Hatta.
laki-laki tersebut berlari menuju ke tempatku berdiri dengan peluh yang
membasahi dahi dan kemejanya. ia terlihat begitu lelah, begitu berantakan untuk
berpergian lintas benua. itu....siapa?
Langkah laki-laki itu semakin dekat ke arahku,
semakin dekat, semakin dekat, dan semakin jelas aku tahu sosok laki-laki itu.
Ya ampun, kenapa dia bisa ada disini?!
"I've found you, i know i could found
you," ujarnya di hadapanku sambil terengah-engah.
"Kamu......kamu yang kemarin di gedung
majalah Eternity, kan?"
Laki-laki dihadapanku ini masih terus
terengah-engah, tapi sejurus kemudian ia menatap mataku begitu dalam dan
menggenggam tangan kananku dengan eratnya sambil berkata:
"Aleana Dean Davinch, sebanyak apapun
pekerjaan yang kamu miliki di Milan atau di London atau di belahan dunia
manapun sekarang ini, boleh kalau aku minta kamu untuk tinggal disini dulu,
sementara waktu? Rasanya....aku gak mau kehilangan kamu lagi."
Aku terdiam, merasa terhipnotis mendengar
perkataan dari laki-laki yang tidak kukenal sama sekali ini. siapa dia? kenapa
dia bisa sebegitu nekatnya mengendarai sepeda menuju bandara dan memanggil
namaku dengan suara selantang tadi? lalu, siapa dia, kenapa dia bisa tahu
namaku? kayaknya pas kami bertemu aku tidak mengucapkan namaku sekalipun. siapa
sih dia? kenapa aku bisa merasa sebegini tertariknya, padahal sama sekali tidak
tahu dia siapa dia sebenarnya?
Sementara aku sedang dalam kondisi di mabuk
kepayang, Alexis justru sebaliknya. ia terlihat sedikit panik saat mendengar
pengumuman bahwa pesawat kami akan segera lepas landas. "Lea, its 11 pm
already, be fast, our flight is-"
"No, Alexis. kalau kamu mau berangkat ke
Milan, kejar pesawat itu sekarang. I'm not coming to Milan," kataku pada
sang manajer. "As you've heard
from this man.....he wants me to stay, so i will."
Laki-laki dihadapanku terlihat kaget sekaligus senang. "Eh, jadi....."
"Jadi aku di Jakarta, karena sebanyak
apapun tugasku, entah itu runway, photo shoot, atau wawancara di Milan, London,
atau bagian negara manapun, saya tahu kamu pasti akan mengejarku sampai
kelelahan. dan aku tidak mau merepotkanmu untuk kedua kalinya. jadi......"
"Jadi?"
"Jadi, sekarang juga antar aku ke suatu
tempat dengan sepedamu itu, perkenalkan dirimu dan buat aku tidak menyesal
karena tidak pulang ke Milan."
Ia pun tertawa, lalu menggenggam tangan kananku
dan menggeret koper kecilku ditangan kirinya sambil berbisik pelan di
telingaku:
"I will never let you fly away,
angel."
-Selesai-
No comments:
Post a Comment