Sunday, November 3, 2013

6. Love Confession (Bittersweet Love)

       Dimas mengejar Cherie yang saat itu keluar dari kamarnya. Langkah Dimas terhenti saat ia kemudian melihat Rama sedang memeluk Cherie yang menangis hebat.
       
       "Loh, kamu nangis? siapa? siapa yang nangisin kamu?"

       Dimas mengintip dari celah kecil di pintu kamarnya. Cherie tidak terlihat membalas balik pelukan Rama. ia hanya diam saja, pasrah di peluk si laki-laki pujaannya. "Oh, mungkin mereka sudah baikan....," pikir Dimas dalam hatinya. melihat kejadian itu, sungguh sebenarnya dalam hati, Dimas merasa sangat sedih. ia pun tidak tahu kenapa ia sedih, ia hanya merasa dadanya mendadak sesak. 
       "Apaan sih si Cherie itu, katanya dia suka sama gue, kok dia malah diem aja di peluk sama Rama?" Dimas berpikir keras tentang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi antara Cherie dan Rama. ia berpikir dan terus berpikir hingga kepalanya terasa pusing. 

        "Ah sudahlah, persetan dengan mereka berdua. lebih baik aku tidur saja," ucap Dimas yang kemudian menutup pintu kamarnya, meninggalkan Cherie dan Rama yang sekarang sedang adu mulut di koridor luar.

***

      Cherie daritadi terus-terusan melihat ponselnya dengan tatapan ragu. "Telfon gak ya, telfon gak ya...." Cherie terus menimbang-nimbang hingga akhirnya keputusannya bulat, ia harus menelpon Riani dan bilang bahwa ia tidak bisa membantunya lagi. 

      Cherie menekan nomor telepon Riani dan menunggu nada panggil. beberapa detik kemudian, telepon tersebut diangkat dan terdengarlah suara Riani dari seberang telepon. "Halo? Cherie? kenapa telepon?"
      "Ada satu hal yang harus saya bicarakan," kata Cherie.
      "Oh gitu? tentang apa? Dimas? kamu udah bisa bikin Dimas mau pulang, Cher?"



      Cherie menggelengkan kepalanya, tentu saja hal itu tidak dapat dilihat Riani dari seberang teleponnya. "Ngg....Engga. saya cuma mau bilang kalau ternyata saya gak bisa. saya gak bisa lanjutin permintaan Anda untuk minta Dimas pulang," ucap Cherie dengan sangat hati-hati. 
      "Ke-kenapa?" kata Riani terbata-bata. 
      "Saya gak bisa. Dimas terlalu keras kepala, dan saya terlalu emosi untuk menahan amarah saya," kata Cherie yang kemudian cerita soal pertengkarannya dengan Dimas kemarin. 
      
       "Bukannya saya tidak mau membantu keluarga Dimas untuk kembali rukun, tapi saya cuma gak bisa. dan saya rasa, orang yang bisa bikin Dimas mau pulang ke rumahnya lagi ya cuma Anda dan Papanya Dimas," ujar Cherie. dalam hati ia bersumpah gak akan ikut-ikut campur lagi urusan keluarga orang lain. 

     "Kenapa kalian berdua gak coba rundingkan baik-baik dengan Dimas? kenapa Anda cuma diam saja saat Dimas dan Ayahnya bertengkar? kalian bertiga harusnya bertemu dalam suatu keadaan yang memaksa Dimas untuk tidak pergi. apapun dan bagaimanapun itu caranya."
     "Terus? kamu tau caranya gimana?" tanya Riani yang suaranya terdengar bergetar. "ugh, apa tadi gue terlalu berapi-api ya?" batin Cherie dalam hati. 
     "Saya tau cara yang tepat, tapi saya gak yakin hal ini akan berhasil tanpa bantuan Anda dan Papanya Dimas. serta mungkin Pamannya Dimas yang punya kos-kosan...."
     Cherie kemudian memberi tahu Riani tentang rencana yang ia sudah rangkai. Riani setuju, dan mereka pun mulai bergerak untuk membuat cara ini berhasil. 

***
     
      Dimas keluar dari kamarnya untuk pergi kesekolah. ia melewati kamar Cherie dan ia terdiam sebentar. "apa Cherie sudah berangkat? kalau belum, dia mau gak ya berangkat sama gue?" pikir Dimas dalam hati. setelah menimbang-nimbang keputusannya, akhirnya ia pun mengetuk pintu kamar Cherie dan memanggil nama si pemilik kamar berkali-kali. tapi hal itu sia-sia saja, karena sepertinya Cherie sudah berangkat sekolah. "Yaudahlah ya, emang bukan takdir gue...."

      Dimas sampai di sekolah dan langsung berjalan menuju kelasnya, XI ALAM 2. sesampainya di kelasnya, ia merasa bingung karena disana belum ada batang hidung Cherie. karena penasaran, Dimas pun menoleh ke arah Ristra dan Desi dan menanyakan keberadaan Cherie.
   
     "Ris, Des. Cherie mana?" tanya Dimas penasaran.
     "Gak tau deh. tadi kita juga udah sms dia, nanyain kenapa dia belum dateng. biasanya kan dia rajin dateng paling cepet," ujar Ristra.
     "Iya, Dim. emangnya lo gak berangkat bareng Cherie?" kali ini giliran Desi yang bertanya.
     "Engga, Des. jadi...lo berdua sama sekali gak tau dia kemana?"
     Ristra dan Desi menggelengkan kepalanya secara bersamaan. "Engga, Dim."
     Dimas terdiam. dalam hati ia merasa khawatir dan juga gelisah. "Tumben amat si Cherie gak dateng. ada apa ya?"
   
***

      Dimas menaiki tangga kos-kosannya dengan wajah lesu. ia sedari tadi terus memikirkan kemana perginya Cherie dan kenapa Cherie gak masuk sekolah. Dimas sudah 3 kali sms Cherie, tapi Cherie tidak sama sekali membalas. Dimas terus merasa gelisah. "Jangan-jangan dia masih marah gara-gara kejadian kemarin? aduh...." batin Dimas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. 

      Dimas membuka pintu kamar kos-kosannya dan langsung terlonjak kaget begitu melihat Cherie, Riani, dan Papanya sedang duduk di dalam kamar Dimas. mereka bertiga terlihat sedang bicara serius, dan begitu mereka melihat kehadiran Dimas, wajah mereka justru jadi semakin serius. 

      "Ini ada apa semuanya di kamar gue?" tanya Dimas. "Dan gimana cara kalian bisa masuk kamar ini?" Dimas saat itu benar-benar gak habis pikir lagi sama mereka bertiga. segitu inginnya kah mereka akan kepulangan Dimas kerumah?

      "Kami pinjam kunci milik Pamanmu, Dim," jawab Riani pelan.

      Tiba-tiba Cherie bangkit dari tempatnya duduk. "Sudah ya, Tante dan Om. untuk selanjutnya, kalian saja yang urus permasalahan ini. saya gak mau lagi dikatain dan dibilang saya DISOGOK sama orangtua TEMEN saya," ujar Cherie dengan tatapan sinis. Cherie lalu berjalan keluar dan dengan sengaja menabrak bahu Dimas. Dimas yang sedari tadi sibuk memperhatikan Cherie akhirnya berusaha untuk mengejarnya. 
      "Cher, tunggu," kata Dimas sambil berusaha menarik tangan Cherie. Cherie menepis tangan Dimas dan langsung kabur masuk ke kamarnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. 

      Dimas merasa kecewa dan semakin bingung dengan hal yang terjadi. ia pun kemudian masuk ke kamarnya dan segera menghampiri Riani dan Papanya. ia benar-benar ingin masalah ini cepat selesai.

      "Jadi, mau kalian kesini itu untuk apa?" tanya Dimas terang-terangan tanpa basa-basi.
      "Papa mau minta kamu pulang, Nak."
      "Udah berapa kali aku bilang kalau aku gak mau pulang, Pa? aku gak mau. aku gak mau karena berada di rumah itu sama saja seperti berada di neraka" jawab Dimas kesal. 
      Papa Dimas menghela nafas. "Dimas, Papa minta maaf kalau selama ini Papa ketelaluan. Papa tahu, dulu Papa gak diskusi dulu soal pernikahan Papa sama Riani. Papa minta maaf. Papa tahu Papa salah. ma-"
      "Papa tahu Papa salah, tapi selama ini, setiap kita bertengkar, emang Papa mau mengakui kalau Papa salah?" ucap Dimas dengan suara bergetar. "Papa tuh ngerti gak sih kalau aku ini anaknya Papa? Aku kenal Riani jauh lebih lama dibanding Papa kenal sama Riani!! Papa kena-" 
      Tiba-tiba Papa Dimas memotong perkataan anaknya yang belum sempat selesai. "Dimas, jawab pertanyaan Papa. Kamu masih suka sama Riani atau engga?"
      Mendengar pertanyaan dari Papanya barusan, Dimas sontak terdiam. ia berpikir dalam hatinya, apa ia masih menyukai Riani seperti dulu? ia memang sempat jatuh kepada Riani sampai-sampai bertengkar hebat dengan Ayahnya sendiri. tapi setelah ia pindah ke kos-kosan ini, rasanya ia tidak begitu memikirkan Riani. ia justru lebih sering memikirkan dan mengkhawatirkan Cherie, perempuan yang baru ia kenal beberapa bulan lalu karena insiden tertabrak sepeda. ia mendadak ingat semua omelan Cherie, rasa makanan Cherie, ejekan Cherie, kebodohan Cherie, sepeda Cherie yang norak, juga perhatian Cherie terhadapnya. Dimas semakin merasa bingung. jatuh cinta kepada Riani membawa sakit yang luar biasa, tapi bersama dengan Cherie justru membuatnya melupakan segalanya. 
      
     "Dimas, kamu masih suka sama Riani atau tidak?" tanya Papanya, membuyarkan Dimas dari pikirannya. 
     "Udah engga," jawab Dimas spontan. Riani dan Papa Dimas terlonjak kaget, begitupun Dimas. "Kenapa gue segampang itu bilang engga?!?"
     Riani tersenyum. "Wah, baguslah. jadi kamu sekarang sudah membuka hati untuk Cherie?"
     "A-apaan sih," jawab Dimas terbata-bata.
     "Ah, kamu ini pakai segala bohong. jujur aja kenapa sih, kamu suka sama Cherie, kan?" tanya Riani sekali lagi. Dimas terus-terusan di teror untuk menjawabnya tapi ia terus mengelak, sampai akhirnya Dimas menyerah dan mengakui perasaannya terhadap Cherie sambil malu-malu.
     "Kalau kamu bilang kamu udah suka sama Cherie, berarti seharusnya kamu udah gak marah dong sama Papa? kan kamu udah ada Cherie....," ujar Papa Dimas.
     Dimas menghela nafas. sudahlah, mungkin ini memang saat yang terbaik untuk menerima permintaan maaf dari ayahnya. jujur, Dimas sendiri sebenarnya tidak suka ribut-ribut, apalagi sama ayahnya sendiri. lagipula, rasanya pergi menghindar dari ayahnya terus menerus adalah hal yang salah, karena tanpa ayahnya, mana mungkin Dimas bisa ada di dunia ini. Dimas pun memantapkan hatinya untuk memaafkan kesalahan ayahnya. ia juga memantapkan hatinya untuk melupakan perasaannya pada Riani dan lebih memilih untuk mengejar perempuan di sebelah bilik kamarnya yang baru ia kenal beberapa bulan lalu, yaitu Cherie.

     "Yasudahlah, aku mau maafin Papa. tapi lain kali, kalau sampai Papa melakukan sesuatu tentang keluarga tanpa minta persetujuan apapun dariku, hal seperti ini bukannya tidak mungkin untuk terjadi 2 kali," kata Dimas.
     "AKHIRNYAAAA!!!" Papa Dimas dan Riani berwajah lega dan sangat bahagia, mereka berdua pun berpelukan kayak Teletubbies sambil menangis-nangis terharu. Dimas hanya menatap 2 orang itu dengan tatapan nanar. "astaga, norak banget......."


***

     Keesokan harinya, Cherie keluar dari kamarnya untuk membeli makan malam. ia melirik ke arah kamar Dimas yang di depan pintunya ada banyak sekali kardus-kardus. Cherie pun mulai berpikir bahwa Dimas akan pindah dari kos-kosan karena ia sudah baikan dengan keluarganya. baru saja Cherie berjalan beberapa langkah, tiba-tiba Riani memanggilnya dari belakang. 
     
     "Cherie, Cherie!" panggil Riani dari kejauhan.
     Cherie menolehkan kepalanya ke sumber suara. "Ya, kenapa Tante?"
     "Saya mau bilang makasih sama kamu, gara-gara kamu dan idemu akhirnya Dimas mau baikan sama Papanya. kamu hebat sekali," puji Riani sambil tersenyum lebar. 
     Cherie membalas senyuman Riani. "Iya, sama-sama. saya senang bisa membantu. ngomong-ngomong, Dimas mau pindah?"
     "Iya, Dimas mau pindah. ini saya lagi ngurus barang-barangnya," kata Riani riang. "Oh iya, kamu mau kemana, Cher?"
     "Saya mau beli makan dulu diluar," jawab Cherie singkat.
    "Makan di kamar Dimas aja, disana masih ada makanan bikinan saya. daripada kamu beli makanan diluar, kan gak sehat. udah yuk, makan di kamar Dimas aja."
    Cherie langsung menolak ajakan Riani. alasan pertama, dia gak mau makan di kamar Dimas karena gak enak sama keluarganya Dimas. alasan keduanya adalah dia gak mau ngeliat Dimas bersiap-siap pindah dari kamar kosnya itu. dia gak mau ketemu Dimas, karena kalau dia ketemu Dimas, Cherie jadi gak bisa mengikhlaskan kepindahan Dimas. Cherie takut kalau ia bakal kangen dengan resenya dan nyebelinnya Dimas. Cherie gak mau. lebih baik Cherie gak ketemu Dimas dan menghabiskan uangnya untuk beli makan malam diluar dibanding harus ke kamar Dimas, makan makanan gratis, tapi ujung-ujungnya jadi galau. engga, engga. Cherie makan diluar aja. 
     "Gak usah, Tante. saya makan diluar saja. duluan ya," ucap Riani sambil buru-buru jalan menuju tangga meninggalkan Riani. 

     Setelah belok ke arah tangga, langkah Cherie pun melambat. ia terus teringat tentang Dimas dan kenangan-kenangan singkat mereka berdua yang hanya berlangsung beberapa bulan. ia tidak mengerti lagi, kenapa orang yang semenyebalkan Dimas bisa-bisanya ada di kepala Cherie selama hampir semingguan ini? 

    "Kenapa sih gue bisa-bisanya suka sama orang kayak Dimas?" kata Cherie lirih. ia terus teringat akan Dimas sampai ia menangis dalam keadaan berdiri di tangga kos-kosan yang untungnya saat itu lagi sepi banget. "IIhh....kenapa gue nangis sih?! Dimas nyebelin!!"

    "Heh cewek brutal. lo kenapa bilang gue nyebelin?!" ujar Dimas yang ternyata sedari tadi berdiri di belakang Cherie. Cherie terlonjak kaget dan hampir jatuh dari tangga sebelum akhirnya tubuhnya di tahan oleh Dimas dalam pelukan. 
    "Aduh, ini kenapa jadi begini??!??! jangan-jangan dia dengar semua kata-kata gue barusan?" batin Cherie yang dalam hatinya merasa panik dan malu abis. Cherie kemudian mendorong tubuh Dimas, berusaha membebaskan tubuhnya dari pelukan laki-laki yang ia benci sekaligus ia sukai. setelah Dimas tidak lagi memeluknya, Cherie buru-buru turun tangga untuk menghindari Dimas. tapi itu justru semakin membuat Dimas mengejarnya. Dimas bahkan menyetarakan langkah kaki jenjangnya dengan langkah kaki Cherie agar mereka bisa berjalan berdampingan. 
     
    "Cher, lo mau kemana?" tanya Dimas disamping Cherie.
    "Gue mau beli makan," jawab Cherie singkat sambil terus menatap kedepan. ia malu, malu sekali sampai tidak berani menatap mata Dimas. 
    "Gue ikut ya?" tanya Dimas. tapi pertanyaannya ini hanya dianggap angin lalu oleh Cherie. ia sama sekali tidak menjawab perkataan Dimas karena Cherie tahu, walaupun Cherie jawab iya atau engga, pasti Dimas akan tetap mengikutinya.

    Selama di perjalanan dan di tempat Cherie biasa membeli makan, tidak ada satu katapun yang terucap dari mulut Cherie maupun Dimas. mereka saling terdiam, saling sibuk dengan pikiran masing-masing walau keduanya berjalan beriringan. karena tidak mau hal awkward ini berlangsung lama, akhirnya di perjalanan pulang menuju kos-kosan, saat mereka berdua menaiki tangga menuju koridor kamar mereka, Dimas mulai membuka suara. 

     "Cher, beberapa hari yang lalu setelah kita berantem itu, gue liat lo di peluk sama Rama. lo balikan sama dia, ya?"
     Cherie melirik ke arah Dimas sebentar dan kembali berjalan lurus. "Engga. gue kesel sama dia."
     Dimas manggut-manggut pelan. "Oh...."
     "Lo udah baikan ya sama orang tua lo? cie, selamat ya. gue turut seneng," kata Cherie dengan senyum yang dipaksakan. "Jadi, setelah lo udah baikan, lo bakalan pindah?"
     Dimas mengangguk. "Iya, Cher. gue mau pindah. hehehe"
     "Oh, begitu.....ngomong-ngomong, lo mau piindah kemana?"
     Dimas tersenyum dan tidak langsung menjawab pertanyaan Cherie. begitu mereka sudah sampai di depan kamar masing-masing, Dimas langsung menunjuk ke pintu kamarnya sendiri. "Gue mau pindah kesini."
     "Hah?"
     "Duh, mulai deh begonya. gue bakalan pindah kesini, Cher. kesini," kata Dimas sambil menunjuk-nunjuk pintu kamarnya. 
     "Tapi....tapi kenapa? bukannya lo udah baikan sama orang tua lo?"
     Dimas mengendikkan bahunya. "yaa....gue mau disini aja biar sama lo."
     Cherie melongo. ia semakin gak ngerti sama maksud Dimas. "Tapi....kenapa?"
     "Ya gue mau aja, Cher. lo tuh ngerti gak sih kalo gue mau selalu sama lo? gue tuh mau selalu berangkat bareng dan pulang bareng lo tiap pagi dan sore, naik sepeda norak lo yang penuh stiker atau sepeda gue yang gak ada boncengannya. gue juga masih mau makan masakan lo, gue juga mau kita makan bareng tiap malem. gue masih mau ngeladenin semua kebodohan lo dan pikiran sempit lo. intinya, gue mau selalu sama lo. gue mau jaga lo, gue gak mau ngasih lo ke siapa-siapa," ujar Dimas yang kemudian mengenggam kedua tangan Cherie. "Gue mau bisa jadi pelindung lo, Cher. gue mau jadi ojek sepeda lo, gue mau jadi orang yang paling lo benci sekaligus lo kagumin, gue mau jadi apapun milik lo, Cher. gue mau jadi orang yang lo sayang......"
      "Gue sayang sama lo, Cher. lo mau gak jadi cewek gue?"
      Mendengar pengakuan cinta dari Dimas, Cherie rasanya lemas luar biasa. ia merasa senang, sekaligus tidak percaya. "Jadi selama ini.....lo juga suka sama gue?" tanya Cherie ke Dimas. Dimas mengangguk, dan Cherie tidak bisa melakukan apapun lagi selain memeluk tubuh tinggi lelaki dihadapannya dan membisikkan kalimat jawaban di telinga lelaki itu. 

      "Iya, Dim. aku mau."
    
      .........dan semudah itulah keduanya jatuh cinta. 

No comments:

Post a Comment