"Kenapa gue selalu liat muka lo yang nyebelin itu sih?", tanya Dimas.
"Mana gue tau. sana lo jauh-jauh dari gue", ujar Cherie yang kemudian pergi menjauh menuruni tangga.
Cherie akhirnya sampai di sekolah. selama di perjalanan, lututnya agak sakit sedikit. "Luka ini bentar lagi juga sembuh. gak usah panik..".
Cherie lalu memasuki kelas XI ALAM 2 yang sudah ramai oleh anak-anak sekelasnya. ia berjalan menuju bangkunya, dan ia mendapati sosok menyebalkan Dimas sedang melihatnya dengan tajam. tapi setajam apapun Cherie di pelototin, ia tidak peduli. ia lalu duduk di kursinya dan mulai mengeluarkan bukunya.
Pelajaran pertama dimulai. Pak Ishak (si bapak sangar), memulai pelajarannya dengan memberikan beberapa latihan soal yang menurut Cherie sangat mudah untuk dikerjakan. karena sudah selesai mengerjakan soal-soal tesebut, Cherie akhirnya hanya bengong sambil melihat ke luar jendela. sesekali ia memegangi lututnya yang mendadak terasa perih dan nyeri.
"Cherie", panggil Pak Sangar tiba-tiba.
"Kenapa, Pak?"
"Tolong jawab pertanyaan nomor 2 dan 3 di papan tulis".
Cherie patuh dan langsung berjalan menuju papan tulis. baru berjalan beberapa langkah, kaki Cherie sudah terasa semakin perih.
"Ada apa, Cherie? kenapa hanya diam saja?"
"E-engga Pak"
Cherie lalu berjalan lagi. kali ini, ia benar-benar sudah tidak tahan lagi dengan sakit di lututnya yang semakin mengganggu. karena terus dipaksakan, akhirnya Cherie goyah. tiba-tiba saja ia terjatuh di depan kelas.
"Loh?! kamu kenapa jatoh?!", tanya Pak Sangar panik
"Kaki saya sakit, Pak. gak kuat berdiri..."
"Kenapa bisa sakit?!"
"Saya kemarin jatuh dari sepeda Pak, ditabrak sama si Dimas"
"Dimas? Dimas dia?", Pak Ishak menunjuk ke arah Dimas. "Kemarin kamu menabrak Cherie?"
Dimas mengangguk santai. "Cuma jatuhin orang aja kok rusuh banget sih".
Kejadian tertabraknya Cherie karena Dimas sukses sekali menarik perhatian Pak Sangar. Alhasil, Dimas
diceramahi panjang lebar selama kurang lebih 20 menit tentang hal yang menyangkut dengan keselamatan orang lain. Dimas yang terus-terusan dimarahi hanya bisa bersikap sabar. dan tentunya, pasrah.
"Dimas, saya gak mau tahu. kamu harus antarkan Cherie pulang ke rumahnya, lalu kembali lagi ke sekolah".
"Apa?", ujar Dimas tidak percaya. "Gila bener ini guru. udah diceramahin panjang lebar sepanjang Sungai Kapuas, masa iya sekarang gue disuruh nganter cewek brutal ini pulang ke kos-kosan sih?"
"Iya dong! kamu harus bertanggung jawab karena sudah bikin kaki orang luka begini. sana, antar dia pulang!", perintah Pak Sangar dengan muka galaknya.
"Sial...", gerutu Dimas.
***
"Dim, bantu gue jalan kek. gak tau banget kaki gue sakit deh lo", gerutu Cherie yang masih berjalan dengan tertatih-tatih.
"Lo kenapa jadi orang itu bawel banget sih? sepeda lo yang mana?"
Cherie menunjuk ke arah Sieben, sepeda Cherie yang berwarna merah dengan keranjang dan stiker-stiker warna-warni khas anak cewek. Dimas lalu menutup wajahnya dengan satu tangan. "Norak banget sih ini sepeda", katanya dalam hati.
Cherie menunjuk ke arah Sieben, sepeda Cherie yang berwarna merah dengan keranjang dan stiker-stiker warna-warni khas anak cewek. Dimas lalu menutup wajahnya dengan satu tangan. "Norak banget sih ini sepeda", katanya dalam hati.
"Cepetan naik", Kata Dimas yang sudah duduk manis di sepeda Cherie
Cherie sesaat melihat Dimas dengan muka ragu. "Lo bisa bonceng orang kan, Dim?"
"Ya bisa lah. udah gak usah banyak omong. cepetan naik"
"Anterin gue sampe selamat ya". Cherie lalu menepuk pundak Dimas dan duduk di boncengan belakang Sieben.
"Berdoa saja", kata Dimas yang sudah memulai mengayuh si Sieben.
Di perjalanan menuju ke kos-kosan, Dimas kesel setengah mati karena Cherie berkali-kali teriak dan mengeluh soal kakinya yang sakit dan laju sepeda yang begitu cepat. contohnya:
"Duh kaki gue kenapa sakit nih..."
"Dimas! jalannya pelan-pelaaaaan gue gak mau mati dulu!"
"Gyaaaa Dimas hati-hatiiii liat depaaaan!!"
"Kaki gue aduh sakit deh"
Dan lain-lain.
Dimas yang sudah pusing dan gak tahan dengar suara teriakan dan keluhan Cherie kemudian menghentikan laju sepeda secara tiba-tiba.
"Aduh!!", seru Cherie yang kesakitan karena wajahnya bertabrakan dengan punggung Dimas. "Lo kenapa berenti tiba-tiba begitu sih? kita kan belum sampai", protesnya.
"Gue gak akan bawa lo pulang ke kos-kosan kalo lo masih berisik, ngeluh, dan teriak-teriakan".
"Hah? gak bisa gitu dong. yang bikin kaki gue luka itu kan lo. lo gak tau kan rasanya jadi gue kayak gimana, nahan-nahan luka di kaki yang nyeri dan perihnya setengah mampus? lo gak tau kan rasanya kayak apa?"
"Heh cewek brutal. semakin hari lo semakin 'kriminal' aja sih. udah bagus gue mau nganterin lo pulang. dibantuin kok malah nyolot gitu".
Cherie benar-benar kesal dan tidak habis pikir dengan sikap Dimas barusan. "orang ini, sudah tau salah, tidak mau bertanggung jawab lagi. benar-benar deh. apa gue pukul aja sekalian biar tau rasa? hmm....."
Hampir saja Cherie memukul wajah Dimas saat tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dari belakang.
"Cherie? kamu ngapain?", tanya seorang laki-laki yang ternyata adalah Rama, si pacar kesayangan Cherie.
"Rama?", ujar Cherie dengan muka kebingungan. "aku mau pulang. kamu sendiri? kenapa kamu ada disini?"
"Aku tadi diminta ke kantor Papa karena suatu urusan, jadi izin gak sekolah dulu," Rama lalu melihat Dimas dengan terheran-heran. "Cher, dia siapa?"
"Oh, dia teman sekelasku di sekolah. namanya Dimas. dia mau antar aku pulang ke kos-kosan."
"Pulang? kenapa pulang?", tanya Rama kebingungan.
Cherie menunjuk ke lututnya yang diperban. "Aku jatuh. tadi guruku suruh dia antar aku pulang ke kos-kosan".
"Ooh...", Rama lalu melihat Dimas dengan sedikit curiga. menurutnya, besar kemungkinan guru Cherie menyuruh laki-laki ini mengantar Cherie karena mereka dekat. Rama mulai curiga. sangat curiga, tepatnya.
"Eh, biar gue aja ya yang antar Cherie balik. lo harus ke sekolah lagi kan? biar gue aja yang antar Cherie pulang"
Dimas menyambut perkataan Rama barusan dengan nada biasa. tidak senang, tidak pula sedih. "Silakan. bawa aja nih dia pulang."
Rama tersenyum dan menyuruh Cherie masuk ke dalam mobilnya. ia masih tetap merasa sedikit curgia atas kedekatan Cherie dan Dimas. bukan curiga, mungkin lebih tepatnya cemburu.
"Cher, kamu ada hubungan apa sama cowok tadi?", tanya Rama sambil fokus menyetir.
"Hah? hubungan? hubungan sama Dimas? ngaco kamu. gak mungkin hubungan antara aku sama dia. lagian, kenapa sih kamu tiba-tiba nanya begitu? cemburu?"
Rama menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mana mungkin aku cemburu. di dalam hati kamu kan cuma ada aku..". Cherie langsung menoyor kepala Rama sambil tersenyum-senyum.
Cherie sesaat melihat Dimas dengan muka ragu. "Lo bisa bonceng orang kan, Dim?"
"Ya bisa lah. udah gak usah banyak omong. cepetan naik"
"Anterin gue sampe selamat ya". Cherie lalu menepuk pundak Dimas dan duduk di boncengan belakang Sieben.
"Berdoa saja", kata Dimas yang sudah memulai mengayuh si Sieben.
Di perjalanan menuju ke kos-kosan, Dimas kesel setengah mati karena Cherie berkali-kali teriak dan mengeluh soal kakinya yang sakit dan laju sepeda yang begitu cepat. contohnya:
"Duh kaki gue kenapa sakit nih..."
"Dimas! jalannya pelan-pelaaaaan gue gak mau mati dulu!"
"Gyaaaa Dimas hati-hatiiii liat depaaaan!!"
"Kaki gue aduh sakit deh"
Dan lain-lain.
Dimas yang sudah pusing dan gak tahan dengar suara teriakan dan keluhan Cherie kemudian menghentikan laju sepeda secara tiba-tiba.
"Aduh!!", seru Cherie yang kesakitan karena wajahnya bertabrakan dengan punggung Dimas. "Lo kenapa berenti tiba-tiba begitu sih? kita kan belum sampai", protesnya.
"Gue gak akan bawa lo pulang ke kos-kosan kalo lo masih berisik, ngeluh, dan teriak-teriakan".
"Hah? gak bisa gitu dong. yang bikin kaki gue luka itu kan lo. lo gak tau kan rasanya jadi gue kayak gimana, nahan-nahan luka di kaki yang nyeri dan perihnya setengah mampus? lo gak tau kan rasanya kayak apa?"
"Heh cewek brutal. semakin hari lo semakin 'kriminal' aja sih. udah bagus gue mau nganterin lo pulang. dibantuin kok malah nyolot gitu".
Cherie benar-benar kesal dan tidak habis pikir dengan sikap Dimas barusan. "orang ini, sudah tau salah, tidak mau bertanggung jawab lagi. benar-benar deh. apa gue pukul aja sekalian biar tau rasa? hmm....."
Hampir saja Cherie memukul wajah Dimas saat tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dari belakang.
"Cherie? kamu ngapain?", tanya seorang laki-laki yang ternyata adalah Rama, si pacar kesayangan Cherie.
"Rama?", ujar Cherie dengan muka kebingungan. "aku mau pulang. kamu sendiri? kenapa kamu ada disini?"
"Aku tadi diminta ke kantor Papa karena suatu urusan, jadi izin gak sekolah dulu," Rama lalu melihat Dimas dengan terheran-heran. "Cher, dia siapa?"
"Oh, dia teman sekelasku di sekolah. namanya Dimas. dia mau antar aku pulang ke kos-kosan."
"Pulang? kenapa pulang?", tanya Rama kebingungan.
Cherie menunjuk ke lututnya yang diperban. "Aku jatuh. tadi guruku suruh dia antar aku pulang ke kos-kosan".
"Ooh...", Rama lalu melihat Dimas dengan sedikit curiga. menurutnya, besar kemungkinan guru Cherie menyuruh laki-laki ini mengantar Cherie karena mereka dekat. Rama mulai curiga. sangat curiga, tepatnya.
"Eh, biar gue aja ya yang antar Cherie balik. lo harus ke sekolah lagi kan? biar gue aja yang antar Cherie pulang"
Dimas menyambut perkataan Rama barusan dengan nada biasa. tidak senang, tidak pula sedih. "Silakan. bawa aja nih dia pulang."
Rama tersenyum dan menyuruh Cherie masuk ke dalam mobilnya. ia masih tetap merasa sedikit curgia atas kedekatan Cherie dan Dimas. bukan curiga, mungkin lebih tepatnya cemburu.
"Cher, kamu ada hubungan apa sama cowok tadi?", tanya Rama sambil fokus menyetir.
"Hah? hubungan? hubungan sama Dimas? ngaco kamu. gak mungkin hubungan antara aku sama dia. lagian, kenapa sih kamu tiba-tiba nanya begitu? cemburu?"
Rama menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mana mungkin aku cemburu. di dalam hati kamu kan cuma ada aku..". Cherie langsung menoyor kepala Rama sambil tersenyum-senyum.
***
Jam di dinding kamar kos-kosan Cherie sudah menunjukkan pukul 16.00. Cherie yang sejak tadi kerjanya hanya tidur-tiduran (dan masih pake seragam sekolah), kemudian berdiri dengan tertatih-tatih untuk mengambil uang di dalam dompetnya. ia berniat untuk membeli makan malam. saat membuka pintu kamarnya, ia lagi-lagi berpapasan dengan Dimas yang sepertinya juga berniat untuk pergi keluar.
"Astaga....lo gak bosen papas-papasan sama gue terus?", kata Dimas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Cherie berusaha untuk tidak menghiraukan perkataan Dimas (padahal dalam hati gondok abis) dan terus berjalan menuju ke tangga. baru juga menuruni satu anak tangga, dia sudah kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh. Dimas yang tidak tega melihat hal itu terjadi berulang-ulang akhirnya datang menghampiri Cherie.
"Lo mau kemana?"
"Beli makan"
"Sini, biar gue yang beliin".
Cherie terperangah mendengar apa yang Dimas bilang barusan. "Apa?"
"Mesti gue ulang berapa kali sih? biar gue aja yang beliin makanan buat lo"
"Kenapa?"
"Gue gak tega ngeliat lo sempoyongan kayak bayi baru belajar jalan. lagian, gue juga sekalian mau beli makan kok"
"Serius ya lo mau beliin gue makanan? oke, nih uangnya. sana beliin gue makanan. mmm....nasi goreng deh, satu ya. dadaaah~". Cherie lalu menaiki tangga dan berjalan menuju ke kamarnya. sementara itu, Dimas hanya menggeleng-geleng kepala. "Giliran mau dibeliin aja langsung girang kayak anak kecil".
***
Tok Tok. Dimas mengetuk pintu kamar kos-kosan Cherie. ia sudah kembali dari warung makan dekat rumahnya dengan membawa dua kantung plastik; satu milik Cherie, dan satu lagi miliknya sendiri. niatnya sih, dia pengin cepat-cepat kasih makanan ini ke Cherie dan langsung balik ke kamar. tapi entah kenapa, Cherie lama sekali membukakan pintu kamarnya walaupun sudah diketuk berkali-kali.
"Woooy Cherieee buka pintunyaaaa!!", teriak Dimas sambil mengetuk pintu kamar Cherie.
"Iya baweeeel", seru Cherie dari dalam ruangan. beberapa detik kemudian, pintu kamar Cherie pun terbuka.
"Lo kemana aja sih? gue ketok-ketokkin pintu kok lo gak bukain?"
"Lo kan tau kaki gue kondisinya lagi menyedihkan gini, jangan heran lah kalo gue buka pintunya lama. lo nya gak sabaran sih."
"Gak usah banyak omong, berisik. nih makanan lo". Dimas memberikan kantung plastik makanan punya Cherie. Dimas sepintas melihat ke bagian kaki Cherie dan langsung terlonjak kaget. di rok putih Cherie, membekas banyak sekali warna merah yang terlihat seperti darah. tidak, itu bukannya 'seperti' darah, tapi memang pasti darah.
"Cher, itu...rok lo kok ada yang merah-merah gitu?", tanya Dimas
Cherie menundukkan kepalanya dan langsung kaget. "Idiih, ini apaan?!"
"Kok lo nanya gue sih, mana gue tau lah itu apaan!!" seru Dimas. ia mendorong badan Cherie untuk masuk ke dalam kamar dan duduk di sofa. setelah itu, ia langsung memeriksa perban dan luka di kaki Cherie.
"Lo pasti gak ganti perban di kaki lo. iyakan?", tanya Dimas dengan nada yang sangat amat yakin.
Cherie menggelengkan kepalanya. "Engga. emang kenapa?"
"Yailah, lo kenapa jadi orang bego banget sih. jelas aja lah darahnya kemana-mana gini. lo ada P3K kan?"
"Ada kok. ambil disana", Cherie menunjuk ke rak bukunya. Dimas segera mengambilnya dan mengganti perban di kaki Cherie.
"Gue baru sekali ini nemu orang yang sebego lo", kata Dimas sambil menggunting-gunting perban dan kapas.
"Bego kenapa sih?", tanya Cherie yang masih gak ngerti kenapa dia sering banget dibilang bego.
"Udah tau kakinya luka, bukannya di perhatiin malah di masa bodoin gini. itu cowok lo gak pernah peduliin lo apa ya?"
"Enak aja. cowok gue tuh romantis. buktinya aja dia kemarin mau kan nganterin gue balik. emangnya lo, romantis engga, nyebelin iya."
Dimas sibuk mengganti perban dan tidak menghiraukan kata-kata Cherie. bukannya tidak menghiraukan sih, tapi malas menghiraukan.
"Selesai", ujar Dimas yang lalu berdiri dan mengambil kantung plastik diatas meja Cherie. "Gue balik ya. ganti tuh perban lo tiap hari". Dimas lalu membuka pintu kamar Cherie dan pergi begitu saja.
"Idih, main kabur gitu aja. belum juga gue bilang makasih," gerutu Cherie sambil membuka plastik makanannya. ia terkejut. apa yang ada di dalam tempat makanan itu bukan nasi goreng, melainkan mi goreng. "Perasaan tadi gue mintanya nasi goreng, kok jadi mi goreng gini? apa Dimas salah dengar ya? atau.....jangan-jangan ketuker?", pikir Cherie. ia pun kemudian mencoba berdiri dari sofa kamarnya dan berjalan menuju ke pintu kamarnya. dan lagi-lagi, untuk kesekian kalinya, di depan kamarnya ada Dimas yang baru mau mengetuk pintu.
"Ha! gue tau kenapa lo balik lagi kesini", seru Cherie sambil menunjuk wajah Dimas dengan telunjuknya. "lo pasti salah ambil makanan kan?"
"Iya. nih, makanan lo, sori gue salah ambil".
Cherie menerima kantung plastik yang disodorkan Dimas. "Eh, lo mau makan disini gak?"
"Apa?", tanya Dimas tidak percaya. "Cewek ngajakin makan bareng? hebat bener ini cewek".
"Yaa abisnya, gue kesian liat lo bolak-balik mulu sambil bawa-bawa kantong plastik makanan kayak orang bego. sini, makan bareng gue aja".
Dimas berkali-kali menolak dan bilang kalau ia tidak mau makan di kamar Cherie, tapi Cherie tetap kekeuh. alasan Cherie adalah: "Kita ini kan teman sekelas, lagipula gue juga baru kenal lo. biar bisa tahu satu sama lain lebih dalam dong!". dan karena dipaksa berkali-kali (bahkan sampai ditarik-tarik), akhirnya Dimas mau juga diajak makan bareng.
"Dim", panggil Cherie.
"Apaan?", jawab Dimas sambil membuka makanannya.
"Kok lo tau soal ngobatin orang gitu-gitu sih?"
"Duh, lo tuh ya. udah bawel, kepo pula," ejek Dimas sambil menyendokki mi gorengnya.
"Ih gitu"
"Gue itu dulu orangnya ceroboh, kalo jalan sering banget jatoh. gara-gara itu gue tiap hari pasti masuk UKS. pengurus UKS sampai capek ngeladenin gue, makanya dia ngajarin gue cara pake perban dan cara ngobatin luka"
Cherie mengangguk-ngangguk. "Ooh begitu...."
Kali ini giliran Dimas yang bertanya. "Cowok lo bisa ngobatin orang gak?"
"Ngobatin orang? hmm.....gak tau deh. dia kalo luka gitu langsung di sembuhin sama dokter keluarga sendiri sih. kenapa emang?"
"Dasar orang kaya," Dimas menyeruput minumnya dengan santai."Gue sih malu kalo punya cewek bego kayak lo. masa iya masang perban sendiri gak bisa."
"Yeh, cowok gue tuh orangnya seribu kali lipat jauh lebih keren dan lebih hebat dari pada lo. yakin deh, di jamin".
"Sesuka lo deh"
Tiba-tiba handphone Dimas berbunyi. "Sebentar ya Cher", kata Dimas sambil berjalan menjauh.
Dimas terlihat kebingungan begitu melihat layar handphonenya. ia tidak tahu nomor siapa yang muncul di Caller ID nya.
"Halo?"
"Dimas, kamu dimana?", tanya suara yang Dimas tahu persis milik siapa.
"Riani? kenapa telepon?"
"Kamu kapan pulang ke rumah?"
Mendengar pertanyaan Riani, air muka Dimas seketika berubah. bukannya berubah jadi senang, tapi berubah jadi kesal.
"Aku udah berapa kali bilang sama kamu kalau aku gak mau pulang? kenapa kamu masih terus berusaha?"
"Dimas, aku cuma mau bilang kalau aku mau keluarga yang utuh. kenapa sih kamu gak bisa maafin Papamu? kenapa kamu gak bisa maafin orang yang udah besarin kamu dari kamu kecil?"
Dimas mendecakkan lidahnya. dia paling gak suka dengan nada bicara Riani yang semakin lama jadi semakin drama. "Kamu gak usah berisik. pokoknya jangan ganggu aku dan jangan usik-usik aku lagi".
Sementara Dimas sedang sibuk adu mulut via telepon, Cherie hanya bisa melanjutkan makan dalam diam sambil pura-pura menonton acara tv yang gak ada seru-serunya. Cherie tidak tahu siapa yang menelpon Dimas dan apa yang mereka bicarakan, tapi Cherie yakin sekali kalau itu bukan sesuatu yang baik dan bukan sesuatu yang Dimas suka. Dimas terlihat seperti ingin menyudahi telepon itu, tapi lawan bicaranya tidak mau berhenti. akhirnya Dimas memutus telepon itu.
"Cherie, gue pulang ya", pamit Dimas tiba-tiba. wajahnya masih terlihat kesal dan bete berat.
Cherie tidak bisa memaksanya untuk tetap tinggal. dia takut di 'semprot' mulut jahat Dimas. lagipula kayaknya Dimas juga lagi gak mood diajak ribut, jadi buat apa mengeluarkan tenaga untuk bertengkar?
"Oke, sampai ketemu besok", ujar Cherie sambil melihat Dimas keluar.
Dan pintu kamar Cherie pun ditutup.
"Ada kok. ambil disana", Cherie menunjuk ke rak bukunya. Dimas segera mengambilnya dan mengganti perban di kaki Cherie.
"Gue baru sekali ini nemu orang yang sebego lo", kata Dimas sambil menggunting-gunting perban dan kapas.
"Bego kenapa sih?", tanya Cherie yang masih gak ngerti kenapa dia sering banget dibilang bego.
"Udah tau kakinya luka, bukannya di perhatiin malah di masa bodoin gini. itu cowok lo gak pernah peduliin lo apa ya?"
"Enak aja. cowok gue tuh romantis. buktinya aja dia kemarin mau kan nganterin gue balik. emangnya lo, romantis engga, nyebelin iya."
Dimas sibuk mengganti perban dan tidak menghiraukan kata-kata Cherie. bukannya tidak menghiraukan sih, tapi malas menghiraukan.
"Selesai", ujar Dimas yang lalu berdiri dan mengambil kantung plastik diatas meja Cherie. "Gue balik ya. ganti tuh perban lo tiap hari". Dimas lalu membuka pintu kamar Cherie dan pergi begitu saja.
"Idih, main kabur gitu aja. belum juga gue bilang makasih," gerutu Cherie sambil membuka plastik makanannya. ia terkejut. apa yang ada di dalam tempat makanan itu bukan nasi goreng, melainkan mi goreng. "Perasaan tadi gue mintanya nasi goreng, kok jadi mi goreng gini? apa Dimas salah dengar ya? atau.....jangan-jangan ketuker?", pikir Cherie. ia pun kemudian mencoba berdiri dari sofa kamarnya dan berjalan menuju ke pintu kamarnya. dan lagi-lagi, untuk kesekian kalinya, di depan kamarnya ada Dimas yang baru mau mengetuk pintu.
"Ha! gue tau kenapa lo balik lagi kesini", seru Cherie sambil menunjuk wajah Dimas dengan telunjuknya. "lo pasti salah ambil makanan kan?"
"Iya. nih, makanan lo, sori gue salah ambil".
Cherie menerima kantung plastik yang disodorkan Dimas. "Eh, lo mau makan disini gak?"
"Apa?", tanya Dimas tidak percaya. "Cewek ngajakin makan bareng? hebat bener ini cewek".
"Yaa abisnya, gue kesian liat lo bolak-balik mulu sambil bawa-bawa kantong plastik makanan kayak orang bego. sini, makan bareng gue aja".
Dimas berkali-kali menolak dan bilang kalau ia tidak mau makan di kamar Cherie, tapi Cherie tetap kekeuh. alasan Cherie adalah: "Kita ini kan teman sekelas, lagipula gue juga baru kenal lo. biar bisa tahu satu sama lain lebih dalam dong!". dan karena dipaksa berkali-kali (bahkan sampai ditarik-tarik), akhirnya Dimas mau juga diajak makan bareng.
"Dim", panggil Cherie.
"Apaan?", jawab Dimas sambil membuka makanannya.
"Kok lo tau soal ngobatin orang gitu-gitu sih?"
"Duh, lo tuh ya. udah bawel, kepo pula," ejek Dimas sambil menyendokki mi gorengnya.
"Ih gitu"
"Gue itu dulu orangnya ceroboh, kalo jalan sering banget jatoh. gara-gara itu gue tiap hari pasti masuk UKS. pengurus UKS sampai capek ngeladenin gue, makanya dia ngajarin gue cara pake perban dan cara ngobatin luka"
Cherie mengangguk-ngangguk. "Ooh begitu...."
Kali ini giliran Dimas yang bertanya. "Cowok lo bisa ngobatin orang gak?"
"Ngobatin orang? hmm.....gak tau deh. dia kalo luka gitu langsung di sembuhin sama dokter keluarga sendiri sih. kenapa emang?"
"Dasar orang kaya," Dimas menyeruput minumnya dengan santai."Gue sih malu kalo punya cewek bego kayak lo. masa iya masang perban sendiri gak bisa."
"Yeh, cowok gue tuh orangnya seribu kali lipat jauh lebih keren dan lebih hebat dari pada lo. yakin deh, di jamin".
"Sesuka lo deh"
Tiba-tiba handphone Dimas berbunyi. "Sebentar ya Cher", kata Dimas sambil berjalan menjauh.
Dimas terlihat kebingungan begitu melihat layar handphonenya. ia tidak tahu nomor siapa yang muncul di Caller ID nya.
"Halo?"
"Dimas, kamu dimana?", tanya suara yang Dimas tahu persis milik siapa.
"Riani? kenapa telepon?"
"Kamu kapan pulang ke rumah?"
Mendengar pertanyaan Riani, air muka Dimas seketika berubah. bukannya berubah jadi senang, tapi berubah jadi kesal.
"Aku udah berapa kali bilang sama kamu kalau aku gak mau pulang? kenapa kamu masih terus berusaha?"
"Dimas, aku cuma mau bilang kalau aku mau keluarga yang utuh. kenapa sih kamu gak bisa maafin Papamu? kenapa kamu gak bisa maafin orang yang udah besarin kamu dari kamu kecil?"
Dimas mendecakkan lidahnya. dia paling gak suka dengan nada bicara Riani yang semakin lama jadi semakin drama. "Kamu gak usah berisik. pokoknya jangan ganggu aku dan jangan usik-usik aku lagi".
Sementara Dimas sedang sibuk adu mulut via telepon, Cherie hanya bisa melanjutkan makan dalam diam sambil pura-pura menonton acara tv yang gak ada seru-serunya. Cherie tidak tahu siapa yang menelpon Dimas dan apa yang mereka bicarakan, tapi Cherie yakin sekali kalau itu bukan sesuatu yang baik dan bukan sesuatu yang Dimas suka. Dimas terlihat seperti ingin menyudahi telepon itu, tapi lawan bicaranya tidak mau berhenti. akhirnya Dimas memutus telepon itu.
"Cherie, gue pulang ya", pamit Dimas tiba-tiba. wajahnya masih terlihat kesal dan bete berat.
Cherie tidak bisa memaksanya untuk tetap tinggal. dia takut di 'semprot' mulut jahat Dimas. lagipula kayaknya Dimas juga lagi gak mood diajak ribut, jadi buat apa mengeluarkan tenaga untuk bertengkar?
"Oke, sampai ketemu besok", ujar Cherie sambil melihat Dimas keluar.
Dan pintu kamar Cherie pun ditutup.
***
Cherie sedang menyisir rambutnya saat tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. "Siapa sih, pagi-pagi gini udah rese", gerutu Cherie sambil terus menyisir rambutnya.
"Woooy Cherie buka pintunyaaa!!", teriak seseorang di luar kamar. Cherie langsung terdiam. "Itu kan suara Dimas....ngapain dia pagi-pagi kesini?"
Cherie membuka pintu kamar kos-kosannya. "Lo ngapain pagi-pagi udah ngetokin pintu kamar orang?"
"Lo udah siap berangkat sekolah belum?", tanya Dimas.
"Tinggal nyisir rambut dan pakai sepatu. kenapa sih emangnya?"
"Gue mau nganterin lo ke sekolah"
Cherie tidak percaya dengan apa yang ia dengar tadi. "Hah? apa lo bilang?"
"Gue mau nganterin lo ke sekolah. kedengeran gak? atau perlu di ulang lagi?"
"Engga, gak perlu. yang gue perlu cuma penjelasan kenapa tiba-tiba lo berbaik hati mau nganterin gue".
"Heh bego, gue sebagai seorang tetangga yang baik, pengin nganter lo karena gue tau kaki lo masih sakit. udah gak usah bawel, sana lo cepet sisir rambut dan pake sepatu! gue tunggu di depan", Dimas mendorong badan Cherie masuk ke kamar.
Dimas menuju ke balkon di depan kamar Cherie. ia melihat ke parkiran sepeda dan motor serta jalanan yang cukup ramai di depan kos-kosan milik pamannya. matanya lalu berhenti pada sebuah mobil berwarna silver yang terlihat sangat mewah. mobil itu terparkir persis di depan pagar kos-kosan. "Dasar orang kaya....mobil bagus di parkir di jalanan gitu aja. gak takut ilang apa ya? mendingan buat gue aja itu sih", pikir Dimas sambil menopangkan dagunya.
"Heh, ayo berangkat", ucap Cherie yang menepuk pundak Dimas, menyadarkan Dimas dari lamunannya mengenai mobil mewah itu.
"Oke".
Mereka berdua berjalan menuju ke parkiran sepeda. "Sepeda lo dimana sih?", tanya Dimas sambil menengok ke kanan dan ke kiri.
"Sepeda gue ada disitu", kata Cherie sambil menunjuk ke sepedanya yang diparkir dekat pagar kos-kosan.
Dimas menatap nanar sepeda Cherie. dari matanya, terlihat dengan jelas adanya kesedihan yang amat mendalam. "Cher, lo harus tau ya. gue malu setengah mati harus berangkat ke sekolah naik sepeda lo".
"Kenapa? sepeda gue bagus kan? dia punya nama loh, namanya Sieben", pamer Cherie sambil tersenyum bangga.
"Mau namanya Sieben, Saban, atau sekalian Sableng juga gue gak peduli. liat nih, cuma gara-gara gue kesian sama kaki lo, gue sampe harus naik sepeda cewek gini. kurang baik apa coba gue sebagai tetangga? cepetan naik".
Cherie tersenyum-senyum senang. "iya tetangga yang baik, antar gue selamat sampai sekolah yaaa!"
"Woooy Cherie buka pintunyaaa!!", teriak seseorang di luar kamar. Cherie langsung terdiam. "Itu kan suara Dimas....ngapain dia pagi-pagi kesini?"
Cherie membuka pintu kamar kos-kosannya. "Lo ngapain pagi-pagi udah ngetokin pintu kamar orang?"
"Lo udah siap berangkat sekolah belum?", tanya Dimas.
"Tinggal nyisir rambut dan pakai sepatu. kenapa sih emangnya?"
"Gue mau nganterin lo ke sekolah"
Cherie tidak percaya dengan apa yang ia dengar tadi. "Hah? apa lo bilang?"
"Gue mau nganterin lo ke sekolah. kedengeran gak? atau perlu di ulang lagi?"
"Engga, gak perlu. yang gue perlu cuma penjelasan kenapa tiba-tiba lo berbaik hati mau nganterin gue".
"Heh bego, gue sebagai seorang tetangga yang baik, pengin nganter lo karena gue tau kaki lo masih sakit. udah gak usah bawel, sana lo cepet sisir rambut dan pake sepatu! gue tunggu di depan", Dimas mendorong badan Cherie masuk ke kamar.
Dimas menuju ke balkon di depan kamar Cherie. ia melihat ke parkiran sepeda dan motor serta jalanan yang cukup ramai di depan kos-kosan milik pamannya. matanya lalu berhenti pada sebuah mobil berwarna silver yang terlihat sangat mewah. mobil itu terparkir persis di depan pagar kos-kosan. "Dasar orang kaya....mobil bagus di parkir di jalanan gitu aja. gak takut ilang apa ya? mendingan buat gue aja itu sih", pikir Dimas sambil menopangkan dagunya.
"Heh, ayo berangkat", ucap Cherie yang menepuk pundak Dimas, menyadarkan Dimas dari lamunannya mengenai mobil mewah itu.
"Oke".
Mereka berdua berjalan menuju ke parkiran sepeda. "Sepeda lo dimana sih?", tanya Dimas sambil menengok ke kanan dan ke kiri.
"Sepeda gue ada disitu", kata Cherie sambil menunjuk ke sepedanya yang diparkir dekat pagar kos-kosan.
Dimas menatap nanar sepeda Cherie. dari matanya, terlihat dengan jelas adanya kesedihan yang amat mendalam. "Cher, lo harus tau ya. gue malu setengah mati harus berangkat ke sekolah naik sepeda lo".
"Kenapa? sepeda gue bagus kan? dia punya nama loh, namanya Sieben", pamer Cherie sambil tersenyum bangga.
"Mau namanya Sieben, Saban, atau sekalian Sableng juga gue gak peduli. liat nih, cuma gara-gara gue kesian sama kaki lo, gue sampe harus naik sepeda cewek gini. kurang baik apa coba gue sebagai tetangga? cepetan naik".
Cherie tersenyum-senyum senang. "iya tetangga yang baik, antar gue selamat sampai sekolah yaaa!"
***
Malam harinya, Cherie dan Dimas kembali makan bersama. kali ini bukan karena Cherie yang maksa untuk minta Dimas makan bareng, tapi Dimas sendiri yang mau. walaupun pertamanya agak heran, tapi Cherie mau-mau saja. dan makan malam kali ini pun tidak beli, tapi Cherie yang membuatkannya sendiri.
"Lo tau gak kalo sekolah kita 2 minggu lagi mau ngadain acara olahraga?", tanya Dimas sambil mengunyah makanan hasil karya Cherie.
"Tau, tadi gue liat di mading plus dikasih tau sama Pak Ishak. itu acara apaan sih emangnya?"
"Acara olahraga, setiap tahun pasti di laksanain. kayak class meeting gitu sih sebenernya"
"Oke. terus? kenapa sama acara olahraga itu? kenapa tiba-tiba lo ngomongin itu?"
"Lo mau ikut lomba olahraga cabang apa?", Dimas memberi jeda pada perkataannya. ia begitu takjub dengan rasa makanan yang dibuatkan Cherie. "Gue disuruh Pak Ishak datain anak-anaknya".
"Hmm, apa ya? gue gak pinter olahraga sih Dim...", kata Cherie. "lo ikut olahraga apa?"
"Gue ikut sepak bola. kalo lo gak mau ikut lomba olahraganya sih gak apa-apa, asalkan lo ikut berpartisipasi jadi suporter."
"Ya ya gue jadi suporter aja daripada gue berolahraga dan berkeringat-keringat gitu."
"Oke deh. pokoknya lo kalo jadi suporter, teriakannya harus paling kenceng, biar pemainnya semangat. ajakin si Ristra sama Desi juga, Cher", ucap Dimas yang sudah selesai makan malam.
Cherie mengangguk-angguk dan mengambil piring Dimas. "Tenang aja, pasti gue dukung sekuat tenaga".
Dimas lalu berdiri dan pamit untuk balik ke kamar kosnya. "Cher, gue balik dulu ya. gue besok antar lo lagi pagi-pagi. kaki lo udah gak sakit-sakit banget kan?"
"Udah engga sakit sih....tapi lo besok mau antar gue, serius? naik si Sieben lagi?", tanya Cherie dengan muka ragu-ragu.
"Jangan naik Sieben! gue udah cukup malu tadi pagi di ceng-cengin sama anak-anak cowok sekelasan karena naik sepeda cewek. besok naik sepeda gue aja", Dimas memutar kenop pintu kamar Cherie. "Thanks ya Cher makan malamnya, masakan lo ternyata enak", puji Dimas.
"Iya laaah makanan gue emang selalu enak!! bentar lagi juga lo ketagihan", kata Cherie yang mulai tersenyum-senyum.
Bersambung Part 4 (And That Feel Starts To Come)
No comments:
Post a Comment